Konsep Pengentasan
Kemiskinan Dalam Tafsir Hassan Hanafi
Hassan Hanafi membuka
kesadaran manusia akan arti pentingnya kesejahteraan umat. Dalam pemikiranya,
ia berkata bahwa setiap manusia mesti memiliki pola pikir mengada dalam dunia (being
in the world, aussein, in-der-welt-sein) yang menunjukan adanya hubungan
dengan kesadaran individu dengan alam, dunia benda-benda.[1]
Kemiskinan
merupakan salah satu problem kemasyarakatan yang secara realitas marak terjadi
di berbagai belahan dunia yang semestinya menjadi kesadaran setiap individu.
Sementara itu, pemikiran manusia hanya melahirkan gejolak yang baru yang hanya
memecahkan masalah secara sepihak. Allah SWT telah menurunkan Alquran sebagai
petunjuk dan pedoman bagi seluruh manusia. Dan Alquran meliputi segala sesuatu.[2]Dengan
demikian, Hassan Hanafi memberikan sebuah penafsiran Alquran yang bermula dari
kenyataan umat manusia. Sehingga munculah sebuah penafsiran yang bertemakan
harta (mal) sebagai salah satu konsep maslahah terhadap salah
satu problem masyarakat yakni kemiskinan.
1.
Tafsir mal fi Alquran (harta dalam Alquran)
Hassan Hanafi
mengawali penafsiranya dengan mengungkapkan beberapa alasan dan urgensitas
penafsiran mal di dalam Alquran. Beliau mengatakan bahwa harta bukan
hanya merupakan bagian dari aktifitas ekonomi semata, namun bagian dari aktifitas keagamaan.[3]
Karena harta merupakan bagian dari pemberian dari Allah SWT yang berupa amanah
atau titipan yang dipergunakan untuk kepentingan kehidupan. Namun pertanyaanya,
bagiamana harta itu digunakan sehingga bernilai di mata Allah SWT ? karena
setiap yang bernilai di sisi Allah SWT adalah ibadah. Sehingga harta pun dapat
berbuahkan ibadah. Permasalahan yang terjadi karena manusia mengganggap bahwa
harta adalah kepemilikan khusus. Sehingga luar dari mereka seakan-akan tiada
hak untuk memilikinya. Sementara Allah lah yang selama ini sang pemilik khusus
dari harta itu sendiri.[4]
Hassan Hanafi
menafsirkan kata mal (harta) di dalam Alquran tidak berarti bermakna
uang seperti makna harfiah-nya, akan tetapi dalam makna kekayaan atau
kepemilikan secara umum. Karena pada muqadimah-nya, Hassan Hanafi berkehendak untuk menafsirkan kata mal tanpa
termasuk di dalamnya unsur-unsur teori fiqh tentang mal itu
sendiri karena banyaknya pertentangan.[5]
Hal ini dimaksudkan bahwa maksud mal dari Alquran itu sendiri menjadi
murni.
Berkaitan
dengan bentuk linguistiknya, kata mal disebutkan di dalam Alquran
sebanyak 86 kali dalam bentuk yang berbeda-beda karena signifikansinya tidak
kurang dari kata nabi sebanyak 80 kali atau kata wahyu sebanyak 78 kali.[6]
a. Kata mal disebutkan
Alquran dalam dua bentuk kata benda. Pertama ; dalam bentuk tidak disandarkan
kepada kata ganti (Ghoir mudhof ila dhamir) seperti (المال، مالا, الاموال, أموالا)
sebanyak 32 kali, serta bentuk yang disandarkan kepada kata ganti / kepunyaan (mudhaf
ila dhomair) (ماله,ماليه, أموالكم, أموالهم) sebanyak 54 kali yang
menunjukan bahwa kekayaan dapat saja berada di luar kepemilikan pribadi.[7]sehingga
harta itu tidak menjadi milik siapa pun, akan tetapi harta memiliki kata yang
berdiiri sendiri di dalam tabi’at kata atau pun peristiwa yang berkaitan
denganya. kepemilikan adalah hubungan antara manusia dan kekayaan. Kata ini
juga disebutkan dua kali dalam bentuk normative dan 13 kali dalam bentuk
accusative, yang menunjukan bahwa kekayaan lebih merupakan sebab yang
menghasilkan. Sehingga harta bukanlah berbentuk sesuatu yang menghasilkan
dengan sendirinya, akan tetapi dieksploitasi oleh tangan manusia.[8]
b. Kata mal dalam bentuk ghair mudhaf (مالا,أموالا) disebutkan dalam Alquran
sebanyak 17 kali, dan kata mal berbentuk ma’rifat (المال, الأموال)
disebutkan sebanyak 15 kali. Hal ini menunjukan bahwa harta yang dimaksud
diketahui (ma’ruf) tidak sampai tidak diketahui (majhul), harta
itu dikenal (ma’lum) tidak tersembunyi (khafyan). Ada pula yang
ber-idhafah pada kata tertentu dalam Alquran seperti (مال الله, مال اليتيم, أموال
اليتامى, أموال الناس) yang disebutkan sebanyak 8 kali yang menunjukan bahwa
sesungguhnya ta’rif harta itu tidak datang secara lahiriah akan tetapi
muncul dari penisbatan harta itu tersendiri
terhadap apa yang dinisbatkan kepadanya. Seperti halnya kata , أموال
الناس maka dipahami dengan ta’rif harta milik manusia. Akan
tetapi harta hanya merupakan benda yang
berbentuk titipan. Tidak ada satu pun kata dalam Alquran yang menyatakan bahwa
harta disandarkan kepada kepemilikan makhluknya, akan tetapi sesungguhnya harta
hanyalah milik Allah SWT. Sepenuhnya. Adapun kata yang disandarkan kepada
makhluknya itu dimaksudkan sebagai kepemilikan kolektif atas nama kalangan yang
tidak punya, kalangan yang haknya dirampas, orang miskin dan anak yatim.[9]
c. Kata mal disebutkan dalam bentuk ghair
mudhaf dalam keadaan ber-i’irab. Yakni dalam keadaan marfu’
sebanyak 2 kali, dalam keadaan mansub sebanyak 17 kali dan keadaan majrur
sebanyak 13 kali. Akan tetapi kata mal yang berbentuk marfu’
jarang adanya. Karena mustahil kata mal itu terbentuk sebagai fa’il,
mubtada atau khabar. Sebab kata mal tersebut tidak memiliki daya untuk melakukan
apapun melainkan melalui karsa manusia. Seperti halnya kata (تحريم الربا) di dalamnya tidak terdapat mubtada
atau pun khabar, karena mal tidak berfungsi sebagai subjek yang melakukan
atau sesuatu yang membawa keadaan subjek, akan tetapi berfungsi sebagai sesuatu
yang diusahakan. Seperti dalam firman Allah SWT :
ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ
زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ
رَبِّكَ ثَوَابٗا وَخَيۡرٌ أَمَلٗا ٤٦
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan (QS. Al-Kahfi [18] : 46)
Maksudnya ialah bahwa harta pada
ayat tersebut tidak berarti sama sekali, harta hanya sebagai pendukung yang
memperdaya, memalingkan dan tidak
beresensi[10].
Atau seperti dalam firman Allah SWT. :
يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ ٨٨ إِلَّا
مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ ٨٩
(yaitu) di
hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS. As-Syu’ara [26] : 88-89)
Maka harta pada ayat di atas, dipahami
sebagai hal yang tidaklah berdaya guna dalam keadaan genting tatkala amal
manusia lebih dibutuhkan. Sehingga harta tak dapat menjadi ukuran, namun amal
manusialah yang menjadi tolak ukur.[11]
d. Kata mal juga merupakan sebuah
fungsi, sebuah titipan sebuah investasi. Kekayaan tidak boleh dimonopili atau
ditimbun. Dalam bentuk kedudukan I’rob mal dikonotasikan dengan 3 (tiga)
makna[12] ;
pertama, celaan kepada manusia yang mengikat diri dengan harta, seperti
dalam firman Allah SWT :
وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا ٢٠
Dan kamu
mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (QS. Al-Fajr [89] : 20)
ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢
Yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (QS. Al-Humazah [104] : 2)
يَقُولُ أَهۡلَكۡتُ مَالٗا لُّبَدًا ٦
Dan mengatakan:
"Aku telah menghabiskan harta yang banyak"(QS. Al-Balad [90] : 6)
كَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
كَانُوٓاْ أَشَدَّ مِنكُمۡ قُوَّةٗ وَأَكۡثَرَ أَمۡوَٰلٗا وَأَوۡلَٰدٗا فَٱسۡتَمۡتَعُواْ
بِخَلَٰقِهِمۡ فَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِخَلَٰقِكُمۡ كَمَا ٱسۡتَمۡتَعَ ٱلَّذِينَ مِن
قَبۡلِكُم بِخَلَٰقِهِمۡ وَخُضۡتُمۡ كَٱلَّذِي خَاضُوٓاْۚ أُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ
أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
٦٩
(Keadaan
kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang
sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan
anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu
telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati
bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka
mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di
akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi (QS. At-Taubah [9] : 69)
وَكَانَ
لَهُۥ ثَمَرٞ فَقَالَ لِصَٰحِبِهِۦ وَهُوَ يُحَاوِرُهُۥٓ أَنَا۠ أَكۡثَرُ مِنكَ
مَالٗا وَأَعَزُّ نَفَرٗا ٣٤
Dan dia
mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika
bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan
pengikut-pengikutku lebih kuat (QS. Al-Kahfi [18] : 34
وَقَالُواْ
نَحۡنُ أَكۡثَرُ أَمۡوَٰلٗا وَأَوۡلَٰدٗا وَمَا نَحۡنُ بِمُعَذَّبِينَ ٣٥
Dan mereka
berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu)
dan kami sekali-kali tidak akan diazab (QS. Saba [34] : 35)
Kedua, larangan mendekati, mengambil harta orang lain yaitu
kaum yang membutuhkan, anak-anak yatim, dan manusia umumnya seperti orang-orang
miskin (tidak termasuk di dalamnya orang-orang kaya)[13]
seperti dalam Firman Allah :
وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ
إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ
إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسُۡٔولٗا ٣٤
Dan
janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya (QS. Al-Isra [17] : 34)
إِنَّ ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ
نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka) (QS. Al-Nisa [4] : 10)
وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰاْ
وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ
وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا ١٦١
Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih
(QS. Al-Nisa [4] : 161)
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ
كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ
وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ
وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ ٣٤
Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih
(QS. Al-Taubah [9] : 34)
Dari pemaparan untaian ayat di atas, Hassan Hanafi
menjelaskan bahwa Harta itu merupakan kebuTuhan. Dan tempat harta bagi
orang-orang yang membutuhkan. Sehingga mengambil harta dari orang-orang yang
membutuhkan adalah kesalahan terbesar. Karena
sesungguhnya harta itu seharusnya digunakan untuk melindungi dan menjaga
kehidupan orang-orang yang tak berdaya (du’afa)[14]
Ketiga,
memberikan harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan, atau jihad
fisabilillah.. Seperti dalam firman
Allah :
وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ
حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ
وَفِي ٱلرِّقَابِ
Dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, (QS. Al-Baqarah [2] : 177)
Hassan Hanafi menjelaskan bahwa pemberian
harta harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan disegerakan, guna mencapai
tujuan yakni mensejahterakan kaum yang membutuhkan, tidak menunggu imbalan.
Seperti dalam firman Allah SWT :
وَيَٰقَوۡمِ لَآ أَسَۡٔلُكُمۡ
عَلَيۡهِ مَالًاۖ إِنۡ أَجۡرِيَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِۚ وَمَآ أَنَا۠ بِطَارِدِ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْۚ إِنَّهُم مُّلَٰقُواْ رَبِّهِمۡ وَلَٰكِنِّيٓ أَرَىٰكُمۡ قَوۡمٗا
تَجۡهَلُونَ ٢٩
Dan (dia berkata):
"Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi
seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir
orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya,
akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui"(QS. Hud [
11] : 29)
Penjelasan dari ketiga makna ini ialah bahwa kata mal
pada pemaparan tersebut di atas
diawali dengan kesadaran manusia akan harta, kemudian menegaskan kembali akan
pentingnya hak asasi manusia yakni dengan memberikan harta kepada orang-orang
yang membutuhkan harta, yang pada akhirnya akan menimbulkan kesadaran akan
pentingnya harta untuk diberikan kepada orang-orang yang paling membutuhkan
bantuan.[15]
Dengan
demikian, independensi perasaan bukan hanya sekedar fakta, namun sebuah
kenyataan yang akan terus terjaga dengan pergerakan perubahan, menolak
keinginan untuk mendapatkan apa yang orang lain miliki, serta pengorbanan diri
untuk mencapai kemaslahatan. Karena kebuTuhanlah yang menentukan arah harta dan
pergerakanya antara sesama manusia, yakni dengan memberikan harta
kepada siapa saja yang membutuhkan.[16]
e.
Kata mal dalam bentuk mudhaf terhadap dhomir
jamak dalam sighat jamak dalam Alquran disebutkan sebanyak 47 kali,
maka sesungguhnya lafadz mal tersebut di-idhofah-kan kepada dhomir
mutakalim sebanyak dua kali (أموالنا). terhadap dhomir muhkatab
sebanyak 14 kali (أموالكم) dan terhadap dhomir ghaib sebanyak 31 kali (أموالهم). Hal ini menunjukan bahwa
sesungguhnya mutakalimin (subjek yang berbicara) mereka yang tidak memiliki harta, sedangkan mukhatabin
(orang-orang yang dituju) menunjukan kedudukan yang kedua, akan tetapi ghaibin
(orang-orang yang tidak disebut) mereka adalah orang-orang memiliki banyak
harta. Yang pada akhirnya terbagi ke dalam tiga tingkatan, yakni :[17]
1.
Tingkatan Fuqara
Bentuk dhomir-nya ialah nahnu,
hum dan kedudukanya sebagai mutakalim. Mereka adalah orang-orang
yang hampir tidak memiliki harta sama sekali kecuali takaranya sedikit.
Karenanya mereka menuntut harta akan keadaan mereka yang tidak memiliki harta
di tangan. Sehingga siapapun mereka yang tidak memiliki harta adalah mereka
yang mengatakan tuntutan dan orang yang
menuntut hak harta bagi mereka adalah orang yang tidak memiliki harta. Sehingga dikatakan bahwa mereka
adalah orang yang menggunakan harta.
Telah disebutkan hanya satu kali kata mal yang di-rofakan ditujukan
terhadap orang yang merdeka perasaanya.
Seperti dalam firman Allah :[18]
سَيَقُولُ لَكَ ٱلۡمُخَلَّفُونَ
مِنَ ٱلۡأَعۡرَابِ شَغَلَتۡنَآ أَمۡوَٰلُنَا وَأَهۡلُونَا فَٱسۡتَغۡفِرۡ لَنَاۚ
يَقُولُونَ بِأَلۡسِنَتِهِم مَّا لَيۡسَ فِي قُلُوبِهِمۡۚ قُلۡ فَمَن يَمۡلِكُ
لَكُم مِّنَ ٱللَّهِ شَيًۡٔا إِنۡ أَرَادَ بِكُمۡ ضَرًّا أَوۡ أَرَادَ بِكُمۡ
نَفۡعَۢاۚ بَلۡ كَانَ ٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرَۢا ١١
Orang-orang
Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: "Harta
dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk
kami"; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam
hatinya. Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi
kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia
menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS. Al-Fats [48] : 11)
Dan satu kali disebutkan dalam bentuk majrur
menunjukan kepada kita tentang perserikatan harta . Seperti dalam firman Allah
:
قَالُواْ يَٰشُعَيۡبُ
أَصَلَوٰتُكَ تَأۡمُرُكَ أَن نَّتۡرُكَ مَا يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوۡ أَن
نَّفۡعَلَ فِيٓ أَمۡوَٰلِنَا مَا نَشَٰٓؤُاْۖ إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلۡحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ
٨٧
Mereka
berkata: "Hai Syu´aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami
memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah
orang yang sangat penyantun lagi berakal"(QS. Hud [11] : 87)
2. Tingkatan Pertengahan (Mutawasithah)
Mereka adalah orang-orang yang berkedudukan
sebagai mukhatibun (yang dituju) yakni orang yang memiliki sebagian
harta. Maka yang dihadapkan dengan mukhatib
ialah pendengar (audiens) yang berkebuTuhan, yakni kalangan mutakalim yang tidak
memiliki harta sedikit pun. Sehingga khitob (orang yang dituju) secara
sosial adalah percakapan orang yang
tidak memiliki harta terhadap orang yang memiliki harta. Di dalam penggunaan shigat
ini, berfungsi apabila datang satu atau
lafadz fa’il mubtada (teradapat 4 kali) maksud dari shigat
ini tidak menetapkan keadaan perasaan kecil hati sebab harta. Karena harta
tidak dapat menggantikan perasaan. Seperti halnya dalam berjihad dan
pergerakan. Allah SWT berfirman :
وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ
أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ
٢٨
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar
(QS. Al-Anfal [8] : 28)
إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ
وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. Al-Thagabun [64]
: 15)
Sebagaimana harta
tidak dapat menjadi jalan untuk meraih jaminan keberhasilan, akan tetapi harta
dapat menyebabkan kepuasan yang berlebihan dan kemewahan. Sebagaimana firman
Allah :
وَمَآ
أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُم بِٱلَّتِي تُقَرِّبُكُمۡ عِندَنَا زُلۡفَىٰٓ
إِلَّا مَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ جَزَآءُ ٱلضِّعۡفِ
بِمَا عَمِلُواْ وَهُمۡ فِي ٱلۡغُرُفَٰتِ ءَامِنُونَ ٣٧
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula)
anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh
balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan
mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga) (QS. Saba [34] :
37)
Akan tetapi, Hassan
Hanafi mengingatkan bahwa Allah SWT dengan segala firmaNya, menyeru manusia
untuk menyadari akan harta yang sama sekali tak memiliki arti apa-apa dibanding
dengan amal shaleh yang mereka kerjakan. Dan harta seharusnya menjadi jalan
untuk mengingat Allah SWT. Firman Allah SWT :[19]
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُمۡ عَن
ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ٩
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi (QS. Al-Munafiqun [63] : 9)
Dari keseluruhan ayat
pada tingkatan ini, Hassan Hanafi memberikan nasehat bahwa kaum yang memiliki
sebagian harta, perlu akan kesadaran akan harta yang mereka miliki. Karena
tugas mereka sebagai mukhatib ialah berhubungan baik dengan mutakalim
dalam mengentaskan kesulitan yang mereka miliki. Karena harta adalah ibadah
bagi orang-orang yang beramal shaleh.[20]
3.
Tingkatan Aghniya
(yang memiliki harta berlebih)
Mereka berkdedukan sebagai ghaibun
(yang tak disebut) yakni orang yang memiliki banyak harta. Mereka adalah pihak
yang bersebrangan dengan golongan faqir dan golongan mutawasithah.
Mereka pula sering disebut sebagai penyapu harta. Kata yang sering dibebankan
pada tingkatan ini ialah lafadz (أموالهم) yang di-marfu-kan sebanyak 5 kali. Menandakan bahwa penimbunan
harta ini tidak bertujuan untuk berjihad di jalan Allah SWT atau untuk menolong
orang yang membutuhkan bantuan[21].
Seperti dalam firman Allah SWT :
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ
لَن تُغۡنِيَ عَنۡهُمۡ أَمۡوَٰلُهُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُهُم مِّنَ ٱللَّهِ شَيۡٔٗاۖ
وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ وَقُودُ ٱلنَّارِ ١٠
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda
dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka.
Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka (QS. Al-Imran [3] : 10)
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ
لَن تُغۡنِيَ عَنۡهُمۡ أَمۡوَٰلُهُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُهُم مِّنَ ٱللَّهِ شَيۡٔٗاۖ
وَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ١١٦
Sesungguhnya orang-orang yang kafir baik harta
mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari
mereka sedikitpun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya
(QS. Al-Imran [3] : 116)
لَّن تُغۡنِيَ عَنۡهُمۡ
أَمۡوَٰلُهُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُهُم مِّنَ ٱللَّهِ شَيًۡٔاۚ أُوْلَٰٓئِكَ
أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ١٧
Harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna
sedikitpun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah penghuni
neraka, dan mereka kekal di dalamnya (QS. Al-Muj
adalah [58] : 17
Firman Allah yang
menunjukan harta yang berlebih, namun harta yang dimaksud tidak menunjukan
nilai dari makna harta itu sendiri:
فَلَا
تُعۡجِبۡكَ أَمۡوَٰلُهُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُهُمۡۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ
لِيُعَذِّبَهُم بِهَا فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَتَزۡهَقَ أَنفُسُهُمۡ وَهُمۡ
كَٰفِرُونَ ٥٥
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka
menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan
anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan
melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir (QS. Al-Taubah [9] :
55)
وَمِنۡهُم مَّن يَلۡمِزُكَ
فِي ٱلصَّدَقَٰتِ فَإِنۡ أُعۡطُواْ مِنۡهَا رَضُواْ وَإِن لَّمۡ يُعۡطَوۡاْ
مِنۡهَآ إِذَا هُمۡ يَسۡخَطُونَ ٥٨
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu
tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka
bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan
serta merta mereka menjadi marah (QS. Al-Taubah [9] : 58)
Adapula lafadz lain
yang di-mansubkan-kan disebutkan 12 kali. Hal ini mengisyaratkan kemustahilan
mengambil harta dari orang-orang yatim. Karena mereka adalah orang-orang yang
membutuhkan. Dan sesungguhnya seseorang yang menimbun harta. Maka di dalam
harta timbunanya itu, terdapat hak-hak orang yang membutuhkan. Seperti dalam
firman Allah SWT:
وَءَاتُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰٓ
أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَتَبَدَّلُواْ ٱلۡخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِۖ وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ
أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبٗا كَبِيرٗا ٢
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan
kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar (QS. Al-Nisa [4] : 2)
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ
إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا وَبِدَارًا أَن
يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِيرٗا
فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ
فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٦
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu) (QS. Al-Nisa [4] : 6)
Atau berisi himbauan
untuk menginfakan harta dan larangan untuk menimbun harta. Seperti dalam firman
Allah SWT :
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ
سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن
يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah [2] : 261)
Pada tingkatan ini,
Hassan Hanafi memberikan pesan bahwa kaum aghniya (banyak harta)
selayaknya menggunakan hartanya di jalan Allah SWT yakni dengan menginfakan
sebagian harta kepada kaum faqir dan miskin. Karena, dalam hartanya
terdap hak-hak mereka. Selain itu pula, Allah SWT memerintahkan kaum aghniya
untuk berzakat dengan tujuan pensucian harta sebagai jalan mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Setelah Hassan Hanafi memberikan penjelasan
secara linguistik, ia memberikan penjelasan umum tentang harta dari penjelasan
linguistiknya, yang merupakan konsep inti dalam mengentaskan kemiskinan. Dalam hal ini, Hassan Hanafi membaginya dalam beberapa
poin, yang di antaranya[22] :
1.
Harta merupakan milik
Allah SWT yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya yakni bagi
orang-orang yang shaleh. Dalam islam, Allah SWT yang maha memiliki harta.
Sementara manusia adalah orang yang menerima harta, dan diperintahkan oleh
Allah untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah yakni dengan memberikan
sebagian harta mereka terhadap orang-orang yang membutuhkan yakni dari kalangan
fakir yang tidak memiliki harta. Sebagaimana firman Allah :
وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ
ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمۡۚ وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ
أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن
يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٣
Dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu
(QS. An-Nur [24] : 33
Hassan Hanafi juga
berpesan bahwa harta merupakan perserikatan. Sehingga sebagian lain mendapatkan
hak hartanya dari sebagian yang lain, sehingga tercipta suasana yang damai dan
jauh dari kata penimbun harta dan acuh terhadap sesama. Ia juga menegaskan
bahwa zakat dan infaq merupakan bagian dari pergerakan sosial. Karena zakat
merupakan ibadah yang bertujuan untuk mempertahankan hak harta orang lain yang
ada pada harta orang-orang yang memiliki harta.[23]
Sehingga hal yang mustahil apabila kaum hartawan mengambil harta dari harta
kaum fakir. Atau mengambil hak mereka yang terdapat pada orang yang tidak
memiliki harta.yakni dari golongan fakir, miskin dan yatim. Untuk itulah Allah
memberikan larangan dalam Alquran untuk memakan harta mereka. Yakni dalam (QS.
Al-Nisa [4] : 2). Justru berdosalah seseorang yang tidak beribadah untuk mengeluarkan sebagian harta mereka bagi
kemaslahatan umat. Karena apa yang mereka lakukan itu adalah bagian dari
keimanan, karena mengimani ayat Allah sama dengan mengimani Allah SWT.[24]
Selain itu, tidak ada
perbedaan dalam perolehan pendapatan dalam agama islam, baik laki-laki atau
perempuan, yang salah itu apabila pergerakan harta diantara keduanya berhenti
sehingga mereka tidak mendapatkan hak mereka. Seperti dalam firman Allah SWT :
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ
كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ
وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ
وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ ٣٤
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS. Al-Taubah [9]
:34)
Hal yang lain ialah adanya kaum fakir yang
membutuhkan bantuan, karena tidak ada yang menanggungnya. Semisal kaum yatim.
Maka kaum yatim adalah orang-orang yang semestinya ditanggung dan janganlah
berbuat tidak adil terhadapnya melainkan dengan bersama-sama memberikan sebuah
tanggungan terhadapnya, karena kaum yatim adalah kaum yang memiliki hak harta. Sehingga kaum
yatim menggunakan harta mereka, ketika
dibutuhkan. Maka Allah SWT melarang manusia untuk memakan
bahkan mendekati harta mereka.[25]
Melainkan menjaga mereka supaya tetap melangsungkan kehidupan. Sebagaimana
firman Allah SWT :
وَلَا
تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ
أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ
نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ كَانَ ذَا
قُرۡبَىٰۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ
تَذَكَّرُونَ ١٥٢
Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat (QS. Al-An’am [6] : 152)
Dari poin pertama ini, Hassan Hanafi menjelaskan bahwa
melindungi kaum lemah dan tertindas merupakan kewajiban bersama. Dan menyadari
makna harta yang digunakan di jalan
Allah adalah langkah pertama dalam melindungi hak-hak kaum lemah, terutama bagi mereka kaum miskin dan mereka
kaum yatim yang tidak ada yang menanggung kehidupanya.[26]
Karena sesungguhnya Allahlah yang memberikan sebuah pahala bagi orang-orang yang
berbuat kebaikan di jala-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَيَٰقَوۡمِ لَآ أَسَۡٔلُكُمۡ
عَلَيۡهِ مَالًاۖ إِنۡ أَجۡرِيَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِۚ وَمَآ أَنَا۠ بِطَارِدِ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْۚ إِنَّهُم مُّلَٰقُواْ رَبِّهِمۡ وَلَٰكِنِّيٓ أَرَىٰكُمۡ قَوۡمٗا
تَجۡهَلُونَ ٢٩
Dan (dia berkata):
"Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi
seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir
orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya,
akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui"(QS. Hud [
11] : 29)
2.
Memperkuat perserikatan harta dengan
mengimplementasikan pergerakan harta di masyarakat, yakni dengan menginfakan
harta terhadap orang yang membutuhkan, dan berjihad, akan tetapi semua itu
dilakukan dengan berusaha keras di jalan Allah SWT dengan tujuan kemaslahatan
umat.[27]Karena
balasan bagi orang-orang yang menginfakan hartanya di jalan Allah adalah begitu
besarnya. Sebagaimana firman Allah SWT :
مَّثَلُ
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ
يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah [2] : 261)
Makna infak dalam hal
ini tidak bermakna sedekah akan tetapi lebih kepada menginvestasikan harta dan
menyebarluaskan pergerakan harta serta tidak ada tindak penimbunan harta atau
menumpuk-numpuk harta. Sebagaimana
firman Allah SWT :
وَمَثَلُ
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمُ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ وَتَثۡبِيتٗا
مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ كَمَثَلِ جَنَّةِۢ بِرَبۡوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٞ فََٔاتَتۡ
أُكُلَهَا ضِعۡفَيۡنِ فَإِن لَّمۡ يُصِبۡهَا وَابِلٞ فَطَلّٞۗ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٦٥
Dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan
Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di
dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan
buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis
(pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat (QS. Al-Baqarah [2]
: 265)
Makna infak dalam hal ini pula tidak
dimaknai dengan maksud untuk mencari keuntungan, akan tetapi tulus melayani masyarakat secara
umum. Sehingga berinfak selayaknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
terang-terangan dengan tujuan dan niatan untuk mengsejahterakan umat dalam
skala lebih besar. Sebagaimana firman Allah SWT :
ٱلَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُم بِٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ فَلَهُمۡ
أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٢٧٤
Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS.
Al-Baqarah [2] : 274)
Namun, Hassan Hanafi mengingatkan, ketika hendak
menginfakan harta di jalan Allah SWT baik dalam jumlah besar atau pun kecil,
hendaklah menghindari dari perasaan riya dan sifat munafik. Sehingga jangan
sampai perbuatan baik dengan wujud infak atau membantu orang lain, dilandasi
dengan maksud memanfaatkan keadaan dan situasi untuk dieksploitasi sedemikian
rupa, bukan untuk niatan kebaikan. Hal ini terlarang, sebagaimana firman Allah
SWT :
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتۡبِعُونَ مَآ أَنفَقُواْ مَنّٗا
وَلَآ أَذٗى لَّهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا
هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٢٦٢
Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati (QS. Al-Baqarah [2] : 262)
Segenap iman lah yang selama ini menjadi
landasan terciptanya kesadaran dalam berbuat kebaikan. Sehingga tidak ada
keraguan sedikit pun dalam berjihad melalui hartanya, karena jiwanya telah
didasari dengan keyakinan yang nyata.[28] Adapun
jihad dengan harta disesuaikan dengan kadar kemampuan.
Pada poin kedua ini, Hassan Hanafi berupaya untuk mengajak
kaum berada untuk bahu membahu membantu saudaranya sesama muslim dalam menjungjung tinggi hak yang sama di mata
Allah SWT yakni dengan tindakan nyata,
berijihad dengan segenap harta yang mereka miliki dalam rangka mensejahterakan
umat. Karena semua merupakan perintah Allah, sementara harta yang dimiliki akan
sia-sia apabila tidak dijalankan menurut ketentuan Allah SWT[29].
Karena mereka memiliki hak yang sama, dan syurgalah balasan bagi mereka yang
senantiasa memuliakan kaum yang membutuhkan. Sebagaimana firman Allah SWT :
۞إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ وَعۡدًا عَلَيۡهِ حَقّٗا فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ
وَٱلۡقُرۡءَانِۚ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ مِنَ ٱللَّهِۚ فَٱسۡتَبۡشِرُواْ
بِبَيۡعِكُمُ ٱلَّذِي بَايَعۡتُم بِهِۦۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١١١
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar (QS. Al-Taubah [9] : 111)
3.
Setelah
mengkonfirmasikan harta secara umum, terhadap urgensitas infaq dan jihad.
Munculan hakikat ketiga, yakni mewujudkan kemerdekaan umat manusia. Yakni
dengan melepaskan kecintaan diri terhadap harta. Karena orang yang mencintai
harta adalah orang yang mengikat perasaanya dengan yang lain sehingga menutup
bagian yang lain untuk mendapatkan tindakan yang sama karena kecintaan yang
berlebihan. Allah berfirman :
وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا ٢٠
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (QS.
Al-Fajr [89] : 20)
Bila manusia telah terjerumus dalam kecintaan terhadap
harta, maka akan terhentilah pergerakan harta bagi kaum yang membutuhkan.
Padahal berkurangnya harta tidak berarti akan mengurangi taraf kemerdekaan
jiwa. Karena sebab lapangnya jiwa, ialah keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah :
وَنَحۡنُ أَحَقُّ بِٱلۡمُلۡكِ
مِنۡهُ وَلَمۡ يُؤۡتَ سَعَةٗ مِّنَ ٱلۡمَالِۚ قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰهُ
عَلَيۡكُمۡ وَزَادَهُۥ بَسۡطَةٗ فِي ٱلۡعِلۡمِ وَٱلۡجِسۡمِۖ وَٱللَّهُ يُؤۡتِي
مُلۡكَهُۥ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٢٤٧
Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut
menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata:
"Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang
luas dan tubuh yang perkasa". Allah memberikan pemerintahan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui
(QS. Al-Baqarah [2] : 247)
Akan tetapi berkurangnya harta dapat
menjadi sebuah wasilah (jalan) bertambahnya kelapangan jiwa. Karena
harta akan lenyap seiring lenyapnya manusia di muka bumi, sementara amal mereka
akan abadi seiring mereka lenyap dan sampai pada suatu masa mereka
dibangkitkan. Maka sabar adalah langkah terbaik dalam menghadapi setiap cobaan
yang datang. Karena Allah menyukai hambanya yang sabar. Namun sabar pada
keadaan ini, bukan bagi mereka yang terdiam menunggu takdir menjemputnya, akan
tetapi menjadi sebuah pondasi yang kokoh untuk melakukan gerakan sosial dalam rangka membangun
kesadaran untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Sebagaimana disebutkan
dalam (QS. Al-Baqarah [2] : 155), dan (QS. Ali-Imran [3] : 186).[30]
Dalam makna ketiga
ini, Hassan Hanafi ingin memberikan keuTuhan pemahaman tentang makna harta
dalam Alquran. Yang mana harta merupakan hak Allah SWT, hak bagi yang lain
(kalangan pada umumnya) dan hak untuk memerdekakan jiwa yang telah
diperintahkan dari apa yang tertulis dalam Alquran (kalangan miskin, yatim dll)
Dengan
telah dijelaskanya makna umum tentang harta yang merupakan sebuah konsep inti
dalam mengentaskan problem kemiskinan, Hassan Hanafi memberikan kesimpulan dari
keseluruhan konsepnya. Yang di antaranya :
1.
Kekayaan, kepemilikan
dan pewarisan berlaku untuk Tuhan bukan manusia. Sebagai langkah kesadaran
manusia terhadap harta yang sebenarnya.
2.
Kekayaan dipercayakan
kepada manusia sebagai titipan. Manusia memiliki hak untuk menggunakan bukan
menyalahgunakan, untuk berinvestasi bukan untuk menimbun, untuk memanfaatkan
bukan untuk diboroskan, dan untuk pembangunan dan pertahanan. Sehingga
terciptalah suasana damai, setiap manusia bahu membahu dalam membantu satu sama
lain, menembus batas strata sosial, namun menyatu dalam harmoni di atas panji
Tuhan yang Maha Kuasa. Yang tertulis dalam Alquran yang mulia.
3.
Kemandirian moral dari
kesadaran manusia terhadap banyaknya kekayaan, membuat
kekayaan menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia. Karena
kekayaan adalah untuk manusia. Bukan manusia untuk kekayaan. Sehingga
kemaslahatan umat akan terjalin seiring jiwa sosial terbentuk dari kesadaran
manusia untuk kesejahteraan sesama manusia.[31]
Dari penjelasan Hassan Hanafi tentang penafsiran
harta, penulis dapat menyimpulkan bahwa, konsep pengentasan kemiskinan menurut
Hassan Hanafi bertumpu pada kesadaran manusia terhadap urgensitas harta. Harta
adalah titipan, harta adalah perserikatan, harta adalah cara untuk menanam
kebaikan (investasi), dan melarang manusia untuk menyalahgunakan harta.
Sementara itu kaum yang ditimpa kemiskinan membutuhkan uluran tangan dari kaum
pemilik harta. Sehingga apabila kaum pemilik harta telah menyadari akan
urgensitas harta itu sendiri, maka dinding yang membatasi antara kaum miskin dan kaum hartawan akan
musnah, dan di antara mereka akan terjalin hubungan yang harmoni, sehingga
dengan hubungan harmoni itulah kemaslahatan umat akan terjalin.
[1]
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World. Vol.
I.,hlm. 501
[2]
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Alquran (Kajian
Kritis, objektif dan komprehensif), (Jakarta : Riora Cipta, 2000), hlm. 3
[3]
Hassan Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. (Mesir : Maktabah Madbuli, 1987), hlm. 121
[4]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri., hlm. 121-122
[5] Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 122
[6]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 123
[7]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,,.hlm. 123
[8]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 124
[9] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 125
[10]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 126
[11]Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 126
[12]Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,,.hlm. 127
[13]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 127-128
[14]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 128
[15] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 128
[16] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,,.
[17]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 130-131
[18]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 131
[19]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,,.hlm. 131
[20]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,. 132
[21]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,,.hlm. 133
[22]Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 135
[23]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 136
[24]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 137
[25]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 137
[26]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,. 137-138
[27]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 139
[28]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,,.hlm. 140
[29]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,.hlm. 141
[30]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri., hlm. 142
[31]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri.,, hlm. 121-145
Comments
Post a Comment