A.
Definisi Tafsir Ijmali sebagai Metode Penafsiran
Tafsir secara Bahasa mengikuti wazan taf’il, berasal dari akar
kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau
menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti kata kerja wazan
daraba yadribu dan nashara yanshuru. Dikatakan fasara (asy-syai’a)
yafsiru dan yafsuru, fasran dan fassarahu artinya abaanahu
(menjelaskanya). Sehingga kata tafsir secara bahasa menurut Manna Qathan ialah
menyingkap.[1]
Sementara tafsir menurut
istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas
tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[2] Sementara menurut Ali Ashabuni adalah ilmu yang digunakan untuk
memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui
penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukumnya dan hikmah-hikmah yang
terkandung di dalamnya.[3]
Sehingga penulis memberikan
kesimpulan bahwa menafsirkan merupakan upaya sungguh-sungguh yang dikerahkan
oleh seorang mufassir untuk memahami dan mendalami kandungan-kandungan
dan berbagai aspek yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an.[4]
Mufassir dituntut menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga al-Qur’an dapat benar-benar
berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara haq dan yang batil, serta jalan
keluar bagi problema kehidupan yang dihadapi.[5]
Metode Tafsir Ijmali ialah
cara yang digunakan mufassir untuk menafsirkan al-Qur’an secara singkat
dan global.[6]
Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan
uraian singkat dan bahasa yang mudah dipahami oleh semua kalangan, mulai dari
orang yang yang memiliki pengetahuan luas hingga orang yang berpengetahuan
sekadarnya. Hal ini dilakukan ayat per-ayat dan surat per-surat sesuai dengan
urutanya dalam mushaf, sehingga nampak keterkaitan antara makna satu ayat dengan
yang lain serta surat yang satu dengan surat yang lain.
Dengan metode ini, mufassir
berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Qur’an dengan kosa-kata yang ada dalam
al-Qur’an sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian tafsirnya tidak
jauh dari konteks al-Qur’an, tidak keluar jauh dari muatan makna yang dikandung
oleh kosa kata serupa dalam al-Qur’an, dan adanya keserasian antara bagian
al-Qur’an yang satu dengan bagian yang lain. Metode ini lebih jelas dan lebih
mudah dipahami oleh pembaca, karena ketika menggunakan metode ini, mufassir
menjelaskan al-Qur’an dengan bantuan asbab al-nuzul, peristiwa sejarah, hadist
nabi atau pendapat ulama.[7]
Diantara
beberapa kitab tafsir yang ditulis sesuai metode tafsir ijmali
adalah;
1.
Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
2.
Marah Labid Tafsir
al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh Muhammad nawawi
al-jawi al-Bantani.
3.
Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al
Karim, oleh Syauq
Dhaif.
4.
Tafsir
al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
5.
Tafsir
Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad
Ahmad Barmiq.
6.
Fath
al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,
7.
Tafsir Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
8.
Tafsir Alquran al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi.[8]
B.
Sejarah Metode Tafsir Ijmali
Perkembangan tafsir dimulai
sejak masa Rasulullah SAW, sebagai seorang yang pertama menjelaskan
al-Qur’an dan menjelaskan kepada umatnya
akan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam hatinya. Pada masa itu tidak
ada seorangpun dari sahabat yang berani
menafsirkan Al-Qur`an, karena beliau masih berada ditengah-tengah sahabatnya.
Beliau sendirilah yang memikul beban dan menunaikan kewajiban sebagai al-Mufassir
al-Awwal. Nabi memahami Al-Qur`an secara global dan terperinci yang demikian itu adalah kewajibannya untuk
menjelaskannya kepada para sahabatnya. Firman Allah, yang artinya :
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan,[9]
Para sahabat juga memahami Al-Qur`an
karena diturunkan dalam bahasa Arab, bahasa mereka sendiri sekalipun mereka
tidak memahami detail-detailnya[10], sehingga disini letak
peran Rasulullah untuk menafsirkan kata-kata yang asing bagi para sahabat,
seperti dalam surah al-Fatihah, para sahabat tidak mengetahui makna kata yang
terkandung dalam ayat Ghoir al-maghdubi `alaihim wa la al-Dhalliin, sehingga
nabi menafsirkan kata al-Maghdubi dengan kaum Yahudi, dan kata al-Dhalliin
dengan kaum Nasrani. Demikian contoh bagaimana nabi menafsirkan makna
kata-kata sulit yang tidak dipahami oleh para sahabat dengan maenggunakan
metode ijmali (singkat dan global).
Setelah beliau meninggal, para sahabat
nabi mengambil peran sebagai penafsir Al-Qur`an, diantara para sahabat tersebut
adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Mas`ud, Ibnu Abbas, Ubbay bin Ka`ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa
Asy`ari, Abdullah bin Zubair.[11]
Diluar
sepuluh orang sahabat diatas terdapat sahabat lain yang turut ambil bagian
dalam menafasirkan Al-Qur`an diantara para sahabat tersebut adalah Abu
Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, dan Ummul Mukminin Aisyah
r.a. penafsiran Al-Qur`an dari para sahabat nabi tersebut, diterima oleh para
ulama tabi`in di berbagai daerah islam, yang menyebabkan munculnya
kelompok-kelompok ahli tafsir di mekkah, Madinah dan Irak seperti mujahid,
Atha` bin Abi Yahya, Ikrimah, Said bin Zubair, Thawus, Zaid bin Aslam,
Abdurrahman bin Zaid, Malik bin Anas.[12]
Generasi Tabi` Tabi`in meneruskan ilmu
yang mereka terima dari kaum tabi`in, mereka mengumpulkan semua pendapat dan
penafasiran Al-Qur`an yang dikemukakan oleh ulama terdahulu, kemudian mereka
tuangkan dari kitab tafsir, seperti yang dilakukan oleh Sofyan bin Uyainah,
Waki` bin al-Jarrah, Syu`bah bin al-Hajjaj, Yasiz bin Harun, `Abd bin Hamid,
mereka itu merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jarir Ath-Thabari[13] yang dikatakan sebagai
kitab tafsir bil ma`tsur terbaik, keistimewaannya antara lain : mengetengahkan
penafsiran para sahabat nabi dan kaum tabi`in selalu metodenya diikuti oleh
hampir semua ahli tafsir. Pada zaman berikutnya para mufasir mulai mempunyai
arah sendiri-sendiri yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur`an. [14]
Seiring dengan maraknya kemajuan ilmu pada
akhir dinasti bani umayyah dan awal periode bani abbasiyyah, tafsir lahir dan
berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari hadist. Sejak saat
itu, kajian tafsir yang membahas seluruh ayat Al-Qur`an, ditulis dan disusun
sesuai dengan susunan yang terdapat dalam Mushaf. Usaha penulisan karya tafsir
demikian selesai ditangan sekelompok ulama antara lain : Ibnu Majjah, Ibnu
Jahrir At-Thabari, Al-Naisahburi, dan lain-lain.[15]
Tafsir
generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan pada Rasulullah, Sahabat,
Tabi` dan Tabi` Tabi`in dan terkadang disertai dengan pentarjihan terhadap
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan istinbath sejumlah hukum serta
penjelasan kedudukan harta jika diperlukan, sebagaimana yang dilakukan oleh
Ibnu Jarir At-Thabari.
Ilmu semakin berkembang pesat,
pembukuannya mencapai kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan
pendapat terus meningkat, masalah-masalah kalam semakin berkobar, fanatisme
madzhab menjadi serius dna ilmu filsafat rasional bercampur dengan ilmu naqli
dan setiap golongan berupaya mendukung
madzhab masing-masing, sehingga para mufasir dalam menafsirkan Al-Qur`an
berpergang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada berbagai kecenderungan. Masing-masing
mufassir memenuhi tafsirnya hanya dengan ilmu yang dikuasainya tanpa
memerhatikan ilmu-ilmu lainnya.
Pada masa selanjutnya, penulisan tafsir
mengikuti pola diatas melalui upaya golongan muta`akhirin yang mengambil begitu
saja penafsiran golongan mutaqoddimin, tetapi dengan cara meringkasnya di satu
saat dan memberinya komentar di saat yang lain. Keadaan demikian berlanjut
sampai lahirnya pola baru dalam tafsir mu`asir (modern), dimana sebagian
mufasir memperhatikan kebutuhan kontemporer disamping upaya penyikapan
asas-asas kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri` dan teori-teori ilmu
pengetahuan dari kandungan teks sebagaimana terlihat dalam tafsir
al-Jawahir, al-Manaar, dan al-Zilal.[16]
Sifat Al-Qur`an yang bersifat historis
menyebabkan munculnya gagasan dan teori hermeneutic (metode penafsiran). Teori
ini menjadi kerja-usaha yang sangat mendesak untuk dikembangkan dalam memahami
makna dan etika legalnya dapat ditempatkan dalam keseluruhan, (totalitas) yang
padu. Bila manusia mau berfikir secara optimal dan memanfaatkan akal
rasionalnya, ia akan menyadari bahwa sesungguhnya berkah Al-Qur`an yang teramat
besar adalah pemikiran dan pemahaman maksud-maksud serta makna yang terkandung
didalamnya untuk kemudian mewujudkan gagasannya dalam perbuatan yang besifat
keagamaan dan keduniaan.[17]
C. Indikator Metode Tafsir
Ijmali
Dari literatur yang telah penulis telusuri maka didapatkan
indikator metode penafsiran ijmali sebagai berikut :
1. Proses
penafsiran dilakukan sesuai dengan urutan surat dalam mushaf.
2. Pendekatan
bahasa yang menekankan pada hal yang bersifat umum semisal muradif
(persamaan kata) dan penjelasan bahasa yang sangat singkat. Dengan maksud untuk
merujuk langsung pada pokok pembahasan.
3. Menggunakan asbabunuzul
dalam proses penafsiranya akan tetapi tidak dijelaskan maksud asbab itu
dengan lebih rinci[18].
Tujuanya ialah supaya menghindari pembahasan yang melebar.
D. Mekanisme Penafsiran
Tafsir Ijmali
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufasir dalam menafsiran al-Quran
dengan metode ijmali ialah sebagai berikut :
1. Membahas ayat
demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam mushaf.
2. Mengemukakan
arti global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
3. Makna yang
diutarakan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat (ayat diletakan di antara
dua tanda kurung tersebut) atau menurut pola yang diakui oleh jumhur ulama dan
mudah dipahami semua orang.
4. Bahasa yang
digunakan, diupayakan lafadznya mirip bahkan sama dengan lafadz yang digunakan
al-Qur’an (dalam bentuk sinonim).[19]
E. Contoh Penafsiran Metode Ijmali
Dalam
menjelaskan contoh, penulis mengambil beberapa penafsiran dari kitab Tafsir
Jalalain karangan Jalaludin As-Syuyuti dan Jalaludin Al-Mahali yang menggunkana
metode Ijmali. Di antaranya ialah sebagai berikut :
1. Menafsirkan
dengan muradif (Persamaan Kata)
Terdapat dalam tafsir jalalain juz pertama ketika menafsirkan kata لَا
رَيۡبَۛ surat al-Baqarah ayat ke 2 :
ذَٰلِكَ
ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.[20]
Dengan penafsiran لاَ رَيْبَ لا شك ِ sama-sama memiliki arti keraguan.
2. Menafsirkan dengan uraian yang singkat padat dan jelas ketika
menafsirkan kata ٱلۡكِتَٰبُ pada surat
al-baqarah ayat 2 :
الكتاب الذي يقرؤه محمد
Kitab di atas, ditafsirkan oleh mufassir dengan
penafsiran bahwa kitab yang dimaksud adalah kitab yang dibaca oleh nabi
Muhammad SAW yakni al-Qur’an.
3. Menafsirkan dengan
pendekatan bahasa yang singkat dan mudah dipahami. Seperti ketika mufassir menafsirkan kata فِيهِۛ pada
kalimat
ذَٰلِكَ
ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ
Mufassir
menafsirkan kata tersebut dengan penjelasan :
فِيهِ أنه من عند الله وجملة
النفي خبر مبتدؤه ذلك والإشارة به للتعظيم
Bahwa kitab al-Qur’an itu benar-benar dari Allah swt. Kalimat negatif
menjadi predikat dari subyek 'Kitab ini', sedangkan kata-kata isyarat 'ini'
dipakai sebagai penghormatan.
4.
Menafsirkan
dengan bantuan asbabunuzul. Salah satu contohnya ialah ketika mufassir
menafsirkan surat al-an’am ayat 65 :
{ قُلْ هُوَ القادر على أَن يَبْعَثَ
عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِّن فَوْقِكُمْ } من السماء كالحجارة والصيحة { أَوْ مِن
تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } كالخسف { أَوْ يَلْبِسَكُمْ } يخلطكم { شِيَعاً } فرقاً
مختلفة الأهواء { وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ } بالقتال ، قال صلى الله
عليه وسلم لما نزلت " هذه أهون وأيسر " ولما نزل ما قبله : " أعوذ
بوجهك " رواه البخاري وروى مسلم حديث " سألت ربي أن لا يجعل بأس أمتي
بينهم فمنعنيها " وفي حديث : لما نزلت قال " « أما إنها كائنة ولم يأت
تأويلها بعد " { انظر كَيْفَ نُصَرِّفُ } نبين لهم { الأيات } الدلالات على
قدرتنا { لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ } يعلمون أنّ ما هم عليه باطل .
(Katakanlah, "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu
dari atas kamu) dari langit yakni berupa batu-batu dan suara keras yang
mengguntur (atau dari bawah kakimu) dengan diamblaskan/ditelan bumi (atau Dia
mencampurkan kamu) mencampur-adukkan kamu (menjadi golongan-golongan)
kelompok-kelompok yang berbeda keinginannya (dan merasakan kepada sebagian kamu
keganasan sebagian yang lain.") dengan cara saling membunuh. Rasulullah
saw. telah bersabda tatkala ayat ini turun, "Ini lebih ringan dan lebih
mudah." Akan tetapi tatkala ayat sebelumnya turun Nabi saw. bersabda,
"Aku berlindung kepada Zat-Mu," hadis ini diriwayatkan oleh Imam
Bukhari. Dan Imam Muslim meriwayatkan tentang sabda Nabi saw., "Aku
memohon kepada Tuhanku agar Ia tidak menjadikan keganasan umatku disebabkan
ulah sebagian di antara mereka tetapi Ia melarangku mendoakan hal ini."
Dan sehubungan dengan hadis pertama, Imam Muslim mengatakan bahwa kejadiannya
pasti akan ada hanya saja kenyataannya masih belum terungkapkan. (Perhatikanlah
bagaimana Kami menjelaskan) menerangkan kepada mereka (tentang ayat-ayat) yang
menunjukkan kepada kekuasaan Kami (barangkali saja mereka mau memahaminya)
mereka mau mengetahuinya bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah perkara
batil.
Mufassir menafsirkan kalimat وَيُذِيقَ
بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ (dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.") dengan بالقتال (dengan cara saling membunuh ) dengan merujuk pada sebab turun ayat tersebut melalui sabda nabi
Muhammad SAW. Yakni riwayat Bukhari dan Muslim, tiada lain adalah untuk
menjelaskan maksud bahwa penjelasan adzab yang dijelaskan pada ayat tersebut
ketika merujuk pada sebab turunya ayat, adzab tersebut lebih ringan
dibandingkan dengan ayat sebelumnya yang juga merujuk pada sebab turun ayat,
dengan adzab yang lebih berat.
5.
Menjelaskan
maksud ayat dengan penakwilan
Yakni
sebagaimana ketika mufassir menafsirkan ayat 116 pada surat Al-Baqarah :
وَلِلَّهِ
ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ
ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ
Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.[21]
Mufassir
menafsirkan kata وَجۡهُ ٱللَّهِۚ dengan قبلته
التي رضيها yang secara
makna langsung memiliki definisi yang jauh berbeda. Dimana wajah Allah SWT yang
bermakna sifat ditakwilkan dengan kata yang merujuk pada kedudukan atau tempat
yakni kiblat yang diridhoi oleh Allah SWT. Hal ni karena latar belakang
mufassir yang tidak menghendaki adanya sifat makhluk pada sifat Allah yakni
Allah memiliki wajah yang ditakutkan akan menghasilkan pemahaman yang keliru,
sehingga maknanya dialihkan pada makna yang lebih dikehendaki oleh sifat-sifat
Allah yakni dengan kiblat. Hal ini karena, kiblat merupakan petunjuk arah,
sehingga memiliki sifat yang sama dengan wajah yang merupakan arah yang dituju,
dibantu dengan bunyi kata sebelumnya yang mengindikasikan perlunya tempat dan
arah yang dituju.
6.
Menafsirkan
dengan penjelasan beberapa aliran Qiraat.
Ketika mufassir
menafsirkan ayat 55 surat Al-An’am :
{ وكذلك } كما بينا ما ذكر { نُفَصِّلُ }
نبيِن { الأيات } القرآن ليظهر الحق فيعمل به { وَلِتَسْتَبِينَ } تظهر { سَبِيلُ
} طريق { المجرمين } فتُجتَنَب ، وفي قراءة : بالتحتانية ، وفي أخرى بالفوقانية
ونصب «سبيل» خطاب للنبي صلى الله عليه وسلم
(Dan demikianlah) sebagaimana yang telah Kami jelaskan sebelumnya (Kami
terangkan) Kami jelaskan (ayat-ayat) Alquran untuk menampakkan yang hak
kemudian diamalkan (supaya jelas) supaya menjadi terang (jalan) kelakuan
(orang-orang yang berdosa) kemudian engkau menjauhinya. Dalam suatu qiraat dibaca
litubayyina; menurut qiraat lainnya dibaca litastabiina. Bila lafal sabiil
dibaca nashab maka pembicaraannya ditujukan kepada Nabi saw.
F. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Ijmali
Tafsir sebagai
produk pemahaman manusia terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an, tentu tidak lepas
dari kelebihan dan kelemahanya, demikian pula dengan metode tafsir ijmali,
pasti memiliki kelebihan dan kelemahan . berikut kelebihan dan kelemahan metode
tafsir ijmali :
1. Kelebihan
a. Memiliki
karakter simplistis dan mudah dimengerti
b. Lebih mendekati
bahasa al-Qur’an
2. Kekurangan
a. Menjadikan
petunjuk al-Qur’an bersifat parsial
b. Tidak membuka
ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.[22]
[1] Manna Khalil Al-Qathan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an Terj (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2008), 457
[2]
Manna Khalil Al-Qathan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, 455-456,
lihat juga Muhammad Husain Az-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufasirun, 12
[3] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an (Jakarta : Dar al-Kutub
Al-Islamiyah, 2003), 65
[4] Ahmad Thib
Raya, Rasionalitas Bahasa al-Qur’an ( Jakarta : Fikra Publishing, 2006),
3-4
[5] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah…..,viii
[6] Muhamamd Amin
Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 381-382
[7] Abdul Hayy
al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I (terj) (Bandung : Pustaka Setia,
2002), 38
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998), h. 13.
[9] Quran Surah 16
An-Nahl : 44. Lihat, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta :
Yayasan Penyelenggara Terjemah/Pentafsir Qur’an, 1971), 408
[10] Manna
Khalil al-Qoththan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur`an, (Bogor :Literantar Nusa,2013) , 469
[11] Subhi
Ash-Shalih, Mabahits fi Ulumil Quran, (Beirut : Darul Ilm lil malayin,
1985), 289
[12] Subhi
Ash-Shalih, Mabahits fi Ulumil Quran…….., 290
[13] Kitab Jami`ul
bayan fi tafsiril Quran karya Ibnu
Jarir At-Thabari
[14] Subhi
Ash-Shalih, Mabahits fi Ulumil Quran…….., 290
[15] Alimin Mesra,
Ulumul Quran……..,220
[16] Manna Khalil
al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, (Bogor:linterantar Nusa, 2013),
477-478.
[17] Ahmad Izzan, Ulumul
Quran (Bandung: Tafakkur, 2013),
241-242
[18]
Muhamamd Amin
Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 381-382
[19] Ahmad Syukri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam
pandangan Fazlur Rahman (Jakarta : Sulthan Thaha Press, 2007), 48
[20]
Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Terjemah/Pentafsir Qur’an,
1971), 8
[21]
Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Terjemah/Pentafsir Qur’an,
1971), 31
[22]
Ahmad Syukri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman (Jakarta : Sulthan Thaha Press,
2007), 49.
Lihat juga, Muhamamd Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2013), 382-383
Barokallohu fiik akhi Sonny Permana..
ReplyDeleteAamiin Ya Allah..,.ustad, Syukron katsir ustad..
Deletejangan lupa kunjungi blog ana, coba kritisi sama Antum di http://syaban44.blogspot.com
ReplyDeleteMasya Allah ....siap ustad, wah makin seru nih ustad..he
Delete