Skip to main content

MENGENAL TAFSIR IJMALI

A.    Definisi Tafsir Ijmali sebagai Metode Penafsiran

Tafsir secara Bahasa mengikuti wazan taf’il, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti kata kerja wazan daraba yadribu dan nashara yanshuru. Dikatakan fasara (asy-syai’a) yafsiru dan yafsuru, fasran dan fassarahu artinya abaanahu (menjelaskanya). Sehingga kata tafsir secara bahasa menurut Manna Qathan ialah menyingkap.[1]

Sementara tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[2] Sementara menurut Ali Ashabuni adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukumnya dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.[3]

Sehingga penulis memberikan kesimpulan bahwa menafsirkan merupakan upaya sungguh-sungguh yang dikerahkan oleh seorang mufassir untuk memahami dan mendalami kandungan-kandungan dan berbagai aspek yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an.[4]


Mufassir dituntut menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara haq dan yang batil, serta jalan keluar bagi problema kehidupan yang dihadapi.[5]

Metode Tafsir Ijmali ialah cara yang digunakan mufassir untuk menafsirkan al-Qur’an secara singkat dan global.[6] Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah dipahami oleh semua kalangan, mulai dari orang yang yang memiliki pengetahuan luas hingga orang yang berpengetahuan sekadarnya. Hal ini dilakukan ayat per-ayat dan surat per-surat sesuai dengan urutanya dalam mushaf, sehingga nampak keterkaitan antara makna satu ayat dengan yang lain serta surat yang satu dengan surat yang lain.

Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Qur’an dengan kosa-kata yang ada dalam al-Qur’an sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur’an, tidak keluar jauh dari muatan makna yang dikandung oleh kosa kata serupa dalam al-Qur’an, dan adanya keserasian antara bagian al-Qur’an yang satu dengan bagian yang lain. Metode ini lebih jelas dan lebih mudah dipahami oleh pembaca, karena ketika menggunakan metode ini, mufassir menjelaskan al-Qur’an dengan bantuan asbab al-nuzul, peristiwa sejarah, hadist nabi atau pendapat ulama.[7]

Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis  sesuai metode tafsir ijmali  adalah;

1.      Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im

2.       Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani.

3.       Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.

4.        Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.

5.         Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq.

6.       Fath   al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,

7.      Tafsir Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.

8.       Tafsir Alquran al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi.[8]

B.     Sejarah Metode Tafsir Ijmali

Perkembangan tafsir dimulai sejak masa Rasulullah SAW, sebagai seorang yang pertama menjelaskan al-Qur’an  dan menjelaskan kepada umatnya akan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam hatinya. Pada masa itu tidak ada seorangpun dari sahabat  yang berani menafsirkan Al-Qur`an, karena beliau masih berada ditengah-tengah sahabatnya. Beliau sendirilah yang memikul beban dan menunaikan kewajiban sebagai al-Mufassir al-Awwal. Nabi memahami Al-Qur`an secara global dan terperinci  yang demikian itu adalah kewajibannya untuk menjelaskannya kepada para sahabatnya. Firman Allah, yang artinya :

بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ    

  Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,[9]

            Para sahabat juga memahami Al-Qur`an karena diturunkan dalam bahasa Arab, bahasa mereka sendiri sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya[10], sehingga disini letak peran Rasulullah untuk menafsirkan kata-kata yang asing bagi para sahabat, seperti dalam surah al-Fatihah, para sahabat tidak mengetahui makna kata yang terkandung dalam ayat Ghoir al-maghdubi `alaihim wa la al-Dhalliin, sehingga nabi menafsirkan kata al-Maghdubi dengan kaum Yahudi, dan kata al-Dhalliin dengan kaum Nasrani. Demikian contoh bagaimana nabi menafsirkan makna kata-kata sulit yang tidak dipahami oleh para sahabat dengan maenggunakan metode ijmali (singkat dan global).

Setelah beliau meninggal, para sahabat nabi mengambil peran sebagai penafsir Al-Qur`an, diantara para sahabat tersebut adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas`ud, Ibnu Abbas, Ubbay bin Ka`ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Asy`ari, Abdullah bin Zubair.[11]

Diluar sepuluh orang sahabat diatas terdapat sahabat lain yang turut ambil bagian dalam menafasirkan Al-Qur`an diantara para sahabat tersebut adalah Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, dan Ummul Mukminin Aisyah r.a. penafsiran Al-Qur`an dari para sahabat nabi tersebut, diterima oleh para ulama tabi`in di berbagai daerah islam, yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok ahli tafsir di mekkah, Madinah dan Irak seperti mujahid, Atha` bin Abi Yahya, Ikrimah, Said bin Zubair, Thawus, Zaid bin Aslam, Abdurrahman bin Zaid, Malik bin Anas.[12]

Generasi Tabi` Tabi`in meneruskan ilmu yang mereka terima dari kaum tabi`in, mereka mengumpulkan semua pendapat dan penafasiran Al-Qur`an yang dikemukakan oleh ulama terdahulu, kemudian mereka tuangkan dari kitab tafsir, seperti yang dilakukan oleh Sofyan bin Uyainah, Waki` bin al-Jarrah, Syu`bah bin al-Hajjaj, Yasiz bin Harun, `Abd bin Hamid, mereka itu merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jarir Ath-Thabari[13] yang dikatakan sebagai kitab tafsir bil ma`tsur terbaik, keistimewaannya antara lain : mengetengahkan penafsiran para sahabat nabi dan kaum tabi`in selalu metodenya diikuti oleh hampir semua ahli tafsir. Pada zaman berikutnya para mufasir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur`an. [14]

Seiring dengan maraknya kemajuan ilmu pada akhir dinasti bani umayyah dan awal periode bani abbasiyyah, tafsir lahir dan berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari hadist. Sejak saat itu, kajian tafsir yang membahas seluruh ayat Al-Qur`an, ditulis dan disusun sesuai dengan susunan yang terdapat dalam Mushaf. Usaha penulisan karya tafsir demikian selesai ditangan sekelompok ulama antara lain : Ibnu Majjah, Ibnu Jahrir At-Thabari, Al-Naisahburi, dan lain-lain.[15]

Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan pada Rasulullah, Sahabat, Tabi` dan Tabi` Tabi`in dan terkadang disertai dengan pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan istinbath sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan harta jika diperlukan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thabari.

Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah kalam semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius dna ilmu filsafat rasional bercampur dengan ilmu naqli dan setiap golongan berupaya  mendukung madzhab masing-masing, sehingga para mufasir dalam menafsirkan Al-Qur`an berpergang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada berbagai kecenderungan. Masing-masing mufassir memenuhi tafsirnya hanya dengan ilmu yang dikuasainya tanpa memerhatikan ilmu-ilmu lainnya.

Pada masa selanjutnya, penulisan tafsir mengikuti pola diatas melalui upaya golongan muta`akhirin yang mengambil begitu saja penafsiran golongan mutaqoddimin, tetapi dengan cara meringkasnya di satu saat dan memberinya komentar di saat yang lain. Keadaan demikian berlanjut sampai lahirnya pola baru dalam tafsir mu`asir (modern), dimana sebagian mufasir memperhatikan kebutuhan kontemporer disamping upaya penyikapan asas-asas kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri` dan teori-teori ilmu pengetahuan dari kandungan teks sebagaimana terlihat dalam tafsir al-Jawahir, al-Manaar, dan al-Zilal.[16]

Sifat Al-Qur`an yang bersifat historis menyebabkan munculnya gagasan dan teori hermeneutic (metode penafsiran). Teori ini menjadi kerja-usaha yang sangat mendesak untuk dikembangkan dalam memahami makna dan etika legalnya dapat ditempatkan dalam keseluruhan, (totalitas) yang padu. Bila manusia mau berfikir secara optimal dan memanfaatkan akal rasionalnya, ia akan menyadari bahwa sesungguhnya berkah Al-Qur`an yang teramat besar adalah pemikiran dan pemahaman maksud-maksud serta makna yang terkandung didalamnya untuk kemudian mewujudkan gagasannya dalam perbuatan yang besifat keagamaan dan keduniaan.[17]

C.    Indikator Metode Tafsir Ijmali

Dari literatur yang telah penulis telusuri maka didapatkan indikator metode penafsiran ijmali sebagai berikut :

1.      Proses penafsiran dilakukan sesuai dengan urutan surat dalam mushaf.

2.      Pendekatan bahasa yang menekankan pada hal yang bersifat umum semisal muradif (persamaan kata) dan penjelasan bahasa yang sangat singkat. Dengan maksud untuk merujuk langsung pada pokok pembahasan.

3.      Menggunakan asbabunuzul dalam proses penafsiranya akan tetapi tidak dijelaskan maksud asbab itu dengan lebih rinci[18]. Tujuanya ialah supaya menghindari pembahasan yang melebar.

D.    Mekanisme Penafsiran Tafsir Ijmali

Langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufasir dalam menafsiran al-Quran dengan metode ijmali ialah sebagai berikut :

1.      Membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam mushaf.

2.      Mengemukakan arti global yang dimaksud oleh ayat tersebut.

3.      Makna yang diutarakan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat (ayat diletakan di antara dua tanda kurung tersebut) atau menurut pola yang diakui oleh jumhur ulama dan mudah dipahami semua orang.

4.      Bahasa yang digunakan, diupayakan lafadznya mirip bahkan sama dengan lafadz yang digunakan al-Qur’an (dalam bentuk sinonim).[19]

E.     Contoh Penafsiran Metode Ijmali

Dalam menjelaskan contoh, penulis mengambil beberapa penafsiran dari kitab Tafsir Jalalain karangan Jalaludin As-Syuyuti dan Jalaludin Al-Mahali yang menggunkana metode Ijmali. Di antaranya ialah sebagai berikut :

1.      Menafsirkan dengan muradif (Persamaan Kata)

Terdapat dalam tafsir jalalain juz pertama ketika menafsirkan kata لَا رَيۡبَۛ   surat al-Baqarah ayat ke 2 :

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ 

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.[20]

Dengan penafsiran لاَ رَيْبَ لا شك ِ sama-sama memiliki arti keraguan.

2.      Menafsirkan dengan uraian yang singkat padat dan jelas ketika menafsirkan kata ٱلۡكِتَٰبُ pada surat al-baqarah ayat 2 :

الكتاب الذي يقرؤه محمد

Kitab di atas, ditafsirkan oleh mufassir dengan penafsiran bahwa kitab yang dimaksud adalah kitab yang dibaca oleh nabi Muhammad SAW yakni al-Qur’an.

3.      Menafsirkan dengan pendekatan bahasa yang singkat dan mudah dipahami.  Seperti ketika mufassir menafsirkan kata فِيهِۛ pada kalimat 

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ 

Mufassir menafsirkan kata tersebut dengan penjelasan :

فِيهِ أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه ذلك والإشارة به للتعظيم

Bahwa kitab al-Qur’an itu benar-benar dari Allah swt. Kalimat negatif menjadi predikat dari subyek 'Kitab ini', sedangkan kata-kata isyarat 'ini' dipakai sebagai penghormatan.

 

4.      Menafsirkan dengan bantuan asbabunuzul. Salah satu contohnya ialah ketika mufassir menafsirkan surat al-an’am ayat 65 :

{ قُلْ هُوَ القادر على أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِّن فَوْقِكُمْ } من السماء كالحجارة والصيحة { أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } كالخسف { أَوْ يَلْبِسَكُمْ } يخلطكم { شِيَعاً } فرقاً مختلفة الأهواء { وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ } بالقتال ، قال صلى الله عليه وسلم لما نزلت " هذه أهون وأيسر " ولما نزل ما قبله : " أعوذ بوجهك " رواه البخاري وروى مسلم حديث " سألت ربي أن لا يجعل بأس أمتي بينهم فمنعنيها " وفي حديث : لما نزلت قال " « أما إنها كائنة ولم يأت تأويلها بعد " { انظر كَيْفَ نُصَرِّفُ } نبين لهم { الأيات } الدلالات على قدرتنا { لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ } يعلمون أنّ ما هم عليه باطل .

(Katakanlah, "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas kamu) dari langit yakni berupa batu-batu dan suara keras yang mengguntur (atau dari bawah kakimu) dengan diamblaskan/ditelan bumi (atau Dia mencampurkan kamu) mencampur-adukkan kamu (menjadi golongan-golongan) kelompok-kelompok yang berbeda keinginannya (dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.") dengan cara saling membunuh. Rasulullah saw. telah bersabda tatkala ayat ini turun, "Ini lebih ringan dan lebih mudah." Akan tetapi tatkala ayat sebelumnya turun Nabi saw. bersabda, "Aku berlindung kepada Zat-Mu," hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Dan Imam Muslim meriwayatkan tentang sabda Nabi saw., "Aku memohon kepada Tuhanku agar Ia tidak menjadikan keganasan umatku disebabkan ulah sebagian di antara mereka tetapi Ia melarangku mendoakan hal ini." Dan sehubungan dengan hadis pertama, Imam Muslim mengatakan bahwa kejadiannya pasti akan ada hanya saja kenyataannya masih belum terungkapkan. (Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan) menerangkan kepada mereka (tentang ayat-ayat) yang menunjukkan kepada kekuasaan Kami (barangkali saja mereka mau memahaminya) mereka mau mengetahuinya bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah perkara batil.

 

Mufassir menafsirkan kalimat وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ (dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.") dengan بالقتال (dengan cara saling membunuh ) dengan merujuk pada sebab turun ayat tersebut melalui sabda nabi Muhammad SAW. Yakni riwayat Bukhari dan Muslim, tiada lain adalah untuk menjelaskan maksud bahwa penjelasan adzab yang dijelaskan pada ayat tersebut ketika merujuk pada sebab turunya ayat, adzab tersebut lebih ringan dibandingkan dengan ayat sebelumnya yang juga merujuk pada sebab turun ayat, dengan adzab yang lebih berat.

5.      Menjelaskan maksud ayat dengan penakwilan

Yakni sebagaimana ketika mufassir menafsirkan ayat 116 pada surat Al-Baqarah :

وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ 

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.[21]

 

Mufassir menafsirkan kata وَجۡهُ ٱللَّهِۚ dengan قبلته التي رضيها yang secara makna langsung memiliki definisi yang jauh berbeda. Dimana wajah Allah SWT yang bermakna sifat ditakwilkan dengan kata yang merujuk pada kedudukan atau tempat yakni kiblat yang diridhoi oleh Allah SWT. Hal ni karena latar belakang mufassir yang tidak menghendaki adanya sifat makhluk pada sifat Allah yakni Allah memiliki wajah yang ditakutkan akan menghasilkan pemahaman yang keliru, sehingga maknanya dialihkan pada makna yang lebih dikehendaki oleh sifat-sifat Allah yakni dengan kiblat. Hal ini karena, kiblat merupakan petunjuk arah, sehingga memiliki sifat yang sama dengan wajah yang merupakan arah yang dituju, dibantu dengan bunyi kata sebelumnya yang mengindikasikan perlunya tempat dan arah yang dituju.

6.      Menafsirkan dengan penjelasan beberapa aliran Qiraat.

Ketika mufassir menafsirkan ayat 55 surat Al-An’am :

{ وكذلك } كما بينا ما ذكر { نُفَصِّلُ } نبيِن { الأيات } القرآن ليظهر الحق فيعمل به { وَلِتَسْتَبِينَ } تظهر { سَبِيلُ } طريق { المجرمين } فتُجتَنَب ، وفي قراءة : بالتحتانية ، وفي أخرى بالفوقانية ونصب «سبيل» خطاب للنبي صلى الله عليه وسلم

(Dan demikianlah) sebagaimana yang telah Kami jelaskan sebelumnya (Kami terangkan) Kami jelaskan (ayat-ayat) Alquran untuk menampakkan yang hak kemudian diamalkan (supaya jelas) supaya menjadi terang (jalan) kelakuan (orang-orang yang berdosa) kemudian engkau menjauhinya. Dalam suatu qiraat dibaca litubayyina; menurut qiraat lainnya dibaca litastabiina. Bila lafal sabiil dibaca nashab maka pembicaraannya ditujukan kepada Nabi saw.

 

F.     Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Ijmali

Tafsir sebagai produk pemahaman manusia terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an, tentu tidak lepas dari kelebihan dan kelemahanya, demikian pula dengan metode tafsir ijmali, pasti memiliki kelebihan dan kelemahan . berikut kelebihan dan kelemahan metode tafsir ijmali :

1.      Kelebihan

a.       Memiliki karakter simplistis dan mudah dimengerti

b.      Lebih mendekati bahasa al-Qur’an

2.      Kekurangan

a.       Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial

b.      Tidak membuka ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.[22]



[1] Manna Khalil Al-Qathan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an Terj (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008), 457

[2] Manna Khalil Al-Qathan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, 455-456, lihat juga Muhammad Husain Az-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufasirun, 12

[3] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an (Jakarta : Dar al-Kutub Al-Islamiyah, 2003), 65

[4] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Qur’an ( Jakarta : Fikra Publishing, 2006), 3-4

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah…..,viii

[6] Muhamamd Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 381-382

[7] Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I (terj) (Bandung : Pustaka Setia, 2002), 38

[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998), h. 13.

[9] Quran Surah 16 An-Nahl : 44. Lihat, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Terjemah/Pentafsir Qur’an, 1971), 408

[10] Manna Khalil  al-Qoththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, (Bogor :Literantar Nusa,2013) , 469

[11] Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulumil Quran, (Beirut : Darul Ilm lil malayin, 1985), 289

[12] Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulumil Quran…….., 290

[13] Kitab Jami`ul bayan fi tafsiril Quran  karya Ibnu Jarir At-Thabari

[14] Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulumil Quran…….., 290

[15] Alimin Mesra, Ulumul Quran……..,220

[16] Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, (Bogor:linterantar Nusa, 2013), 477-478.

[17] Ahmad Izzan, Ulumul Quran  (Bandung: Tafakkur, 2013), 241-242

[18] Muhamamd Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 381-382

 

[19] Ahmad Syukri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman (Jakarta : Sulthan Thaha Press, 2007), 48      

[20] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Terjemah/Pentafsir Qur’an, 1971), 8

 

[21] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Terjemah/Pentafsir Qur’an, 1971), 31

[22] Ahmad Syukri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman (Jakarta : Sulthan Thaha Press, 2007), 49. Lihat juga, Muhamamd Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 382-383

 


Comments

  1. Barokallohu fiik akhi Sonny Permana..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Allah..,.ustad, Syukron katsir ustad..

      Delete
  2. jangan lupa kunjungi blog ana, coba kritisi sama Antum di http://syaban44.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masya Allah ....siap ustad, wah makin seru nih ustad..he

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Penafsiran Al-Qur'an Dr. Hassan Hanafi terhadap pengentasan kemiskinan

   Konsep Pengentasan Kemiskinan Dalam Tafsir Hassan Hanafi Hassan Hanafi membuka kesadaran manusia akan arti pentingnya kesejahteraan umat. Dalam pemikiranya, ia berkata bahwa setiap manusia mesti memiliki pola pikir mengada dalam dunia ( being in the world, aussein, in-der-welt-sein ) yang menunjukan adanya hubungan dengan kesadaran individu dengan alam, dunia benda-benda. [1] Kemiskinan merupakan salah satu problem kemasyarakatan yang secara realitas marak terjadi di berbagai belahan dunia yang semestinya menjadi kesadaran setiap individu. Sementara itu, pemikiran manusia hanya melahirkan gejolak yang baru yang hanya memecahkan masalah secara sepihak. Allah SWT telah menurunkan Alquran sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh manusia. Dan Alquran meliputi segala sesuatu. [2] Dengan demikian, Hassan Hanafi memberikan sebuah penafsiran Alquran yang bermula dari kenyataan umat manusia. Sehingga munculah sebuah penafsiran yang bertemakan harta ( mal ) sebagai salah satu konsep masla

Pandangan Mufassir Klasik hingga Modern terkait problem kemiskinan

Para mufasir telah memberikan penjelasan mengenai kemiskinan dalam Alquran. Salah satunya ialah seorang mufasir yang bernama Quraish syihab yang memiliki sebuah karya tafsir yang bernama Tafsir Al-Misbah .   Menurut Quraish syihab, kemiskinan merupakan orang yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya, dan diamnya itulah yang menyebabkan kefakiranya. [1] Menurutnya pula, terdapat ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang kemiskinan dan ayat-ayat tersebut bernada kritik so s ial, seperti yang terdapat QS. Al-An’am : 151 : ۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١ Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diha