Skip to main content

Mengenal Mufassir Kontemporer Dr. Hassan Hanafi


A.    Biografi Hassan Hanafi

1.      Hassan Hanafi seorang ulama kontemporer

Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, tepatnya di sekitar tembok Benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan Al-Azhar. Ia memperoleh gelar doktor dari Sorbonne University, Paris, pada tahun 1966 dengan tesis berjudul “Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh”(Metodologi Penafsiran : Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul Fiqh) dan disertasi “L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux (Tafsir Fenomenologis : Status Quo Metode Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan)”.[1], keduanya merupakan upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam) pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.[2] Ia banyak menyerap pengetahuan barat, sehingga ia lebih mengkonsentrasikan diri pada pemikiran barat pra-modern dan modern. Meskipun ia menolak dan mengkritik barat, namun ia tidak dapat membantah bahwa ide-ide liberalism barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah mempengaruhi pemikiranya. Maka dari itu, ia tergolong seorang modernis-liberal seperti Luthfi al-Sayyid, Taha Husain dan al-Aqqad.[3]

2.      Karya-karya Hassan Hanafi

Tulisan dan karya Hassan Hanafi dapat dibagi ke dalam tiga periode. Pertama, tahun 60-an. Kedua, tahun 70-an. Ketiga, tahun 80-90an. Pada periode pertama tahun 60-an karyanya tertuang dalam tesis dan disertasinya, yang bertuuan untuk mengisntegrasikan antara warisan masa lalu dengan kenyataan masa sekarang. Upaya tersebut dapat terlihat dalam buku Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istighrab, yang dalam pemaparanya dapat disimpulkan sebagai berikut ; 1) Metode interpretasi sebagai pembaharuan dalam  bidang Ushul Fiqh, 2) Fenomenologi sebagai metode untuk memahami realitas agama, 3) Menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta menyederhanakan ilmu ushul fiqh sesuai dengan realitas, 4) Keharusan agama berdasarkan realitas kontemporer, 5) Bagaimana memahami serta menjelaskan teks-teks masa lalu.[4]
Sedangkan karyanya dalam periode kedua, yakni pada tahun 70-an, salah satu tujuan dari tulisan-tulisanya pada periode ini adalah untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam ketika perang melawan Israel tahun 1967, maka pada tahun 1976, Hassan Hanafi menulis buku yang berjudul Qadhaya Mu’ashirah fi Fikrina Mua’shir, dalam buku ini menggambarkan bagaimana iman seorang pemikir menganalisa realitas dan berusaha merevitalisasi khazanah klasik Islam. Hassan Hanafi mengatakan bahwa seorang ilmuan tidak hanya harus duduk, asyik berfikir tetapi juga harus berfikir dan memberikan jalan keluar bagi rakyat yang sedang mengalami kesulitan.[5] Kemudian pada tahun 1977, Hassan Hanafi menulis Qadhaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Gharibi. Dalam buku ini, Hasan Hanafi memperkenalkan beberapa pemikir barat, seperti Spinoza, Kant, Hegel, Max Weber dan Hebert Marcuse, fungsi buku ini ialah untuk membantu pembaca memahami dan dapat mengambil metode bagaimana tokoh-tokoh di atas dalam memahami persoalan masyarakat kemudian bagaimana cara mereka mengadakan reformasi.[6]
Adapun karya Hassan Hanafi pada periode ketiga, yakni pada tahun 80-an dan awal 90-an, di antaranya ; 1) Ad-Din wa al-Tsaurah fi Mishri 1952-1981, tema buku ini secara keseluruhan membicarakan gerakan-grakan keagamaan kontemporer dan integritas umat  serta menjelaskan salah satu penyebab konflik berkepanjangan di Mesir yakni tarik menarik antara ideologi Islam dan Barat.[7] 2). Dirasat Islamiyah tahun 1981, yang memuat tentang metode pembelajaran keislaman melalui pendekatan ushul fiqh, ushuluddin, filsafat dan bagaimana pembaharuanya. Dalam buku ini, Hassan Hanafi menggunakan pendekatan fenomenologi  dan hermeneutika untuk menjelaskan objek studi melalui perspektif kesejarahan secara kritis dan melihat sebagaimana adanya.[8]. 3). At-Turast wa al-Tajdid, buku ini berisi tentang pemikiran pembaharuan dan tradisi. Yakni menjelaskan dan mendiskusikan bagaimana caranya  sikap umat islam dalam menyikapi tradisi dan khazanah Barat untuk menjaga supaya tidak sampai tertinggal[9]. Dalam buku tersebut pula Hassan Hanafi menjelaskan peran pentingnya realitas terhadap umat dan membebaskan pemikiran islam dari keterikatanya terhadap pemikiran Barat sebagai bentuk perlawanan terhadap pemikiran Barat dan memberikan solusi terhadap derita yang dialami oleh relalitas umat muslim di dunia.[10] 4). Min al-Qidah Ila Tsaurah, tahun 1988, buku ini adalah buah karyanya yang besar dan paling penting. Buku ini memuat bagaimana cara mengkonstruksi ilmu kalam dan penjelasan seluruh karya dan aliran ilmu kalam dari aspek isi, metodologi, latar belakang dan perkembanganya sampai abad 20.[11]5). Muqaddimah fi I’lmi al-Istighrab, tahun 1992. Buku ini berisi mengenai sikap Hassan Hanafi terhadap tradisi dan peradaban Barat.[12]6). Islam in The Modern World, tahun 2000, yang terdiri dari dua bagian ; Pertama : Religion, Ideology and Development. Kedua : Tradition, Revolution and Culture. Buku ini berisi kumpulan artikel yang disampaikan pada seminar-seminar di Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Indonesia dan Negara Timur Tengah lainya. Buku ini berisi pemusatan ideologi agama dan meletakan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara dunia ketiga.[13]
Latar belakang pemikiran Hassan Hanafi dalam khazanah islam dimulai dengan bentuk keprihatinanya terhadap ketertinggalan pemikiran islam dari pemikiran barat yang semakin maju yang ditakutkan dapat mempengaruhi pemikiran kaum muslim di dunia. Dengan demikian Hassan Hanafi banyak sekali menimba keilmuan barat dengan tujuan untuk melawan pemikiran barat itu sendiri.[14] Salah satu wujud pemikiran Hassan Hanafi adalah mengenai hermeneutika yang selanjutnya dituangkan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci Alquran. Pemikiran hermenutika Hassan Hanafi pertama kali dikemukakan ketika dia menulis tesis dan disertasinya yang dipublikasikan dalam judul Religius Dialogue and Revolution.[15]Selain pada tesis dan disertasinya, pembahasan hermeneutika juga dapat ditemukan dalam buku Dirasat Islamiyah bab Ushul Fiqh dan dalam buku Dirasat Falsafiyah yang terkandung dalam pembahasan  Qiraat al-Nash.[16] Dalam desertasinya, Hassan Hanafi menggunakan pendekatan hermeneutika dalam menjabarkan dan menjelaskan fenomenologi dan perubahanya menjadi fenomenologi aplikatif serta mengevaluasi penerapanya pada fenomena keberagamaan[17]. Barulah stelah itu, Hassan Hanafi membahas aplikasi metode fenomenologi dalam fenomena tafsir dalam karyanya ‘La Phenomenologie L-Exegeses, esay d’une hermenetique existentielle a partir du Nueveau Testament’ (Fenomenologi Penafsiran : Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) pada tahun 1965-1966. Karya tersebut merupakan upaya Hassan Hanafi yang  berupa kasus kitab perjanjian baru sebagai upaya dialog antar agama dan peradaban[18]. Hassan Hanafi Hanafi mengkaji teks-teks kitab perjanjian baru dengan pendekatan ushul fiqh samba menjadikan komentar-komentar Alquran atas injil sebagai sesuatu yang telah diselewengkan, diubah dan diganti sebagai hipotesis ilmiah yang masih membutuhkan pembuktian validitasinya dalam sejarah.
Secara khusus, Hassan Hanafi memfokuskan kajian terhadap dua agenda ; persoalan metodis atau teori penafsiran dan persoalan filosofis atau matateori penafsiran. Secara metodis, Hassan Hanafi menjabarkan beberapa langkah baru dalam memahami Alquran dengan landasan liberasi dan emansipatoris Alquran. Sementara untuk agenda filosofis, Hassan Hanafi bertindak sebagai komentator, kritikus bahkan dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Alquran. Dalam menafsirkan Alquran, Hassan Hanafi memiliki beberapa prinsip dasar yang ia gunakan sebagai kunci dalam sebuah penafsiran Alquran, di antaranya ushul fiqh, fenomenologi, marxis dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat kunci tersebut, Hassan Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan pembebasan dalam islam yang dimana tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan normatif-ideologis bagi umat islam untuk menghadapi berbagai bentuk represi, eksploitasi dan ketidakadilan baik dari dalam maupun luar. Dengan demikianlah Hassan Hanafi menggusung hermeneutika yang lebih berdifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan krusial umat saat ini.[19]
Sedangkan terhadap permasalahan yang mengandung penekanan makna tafsir yang mendunia, praktis dan menyeluruh terhadap permasalahan langsung yang dialami oleh masyarakat, Hassan Hanafi menggunakan diskursus ushul fiqh dengan menjelaskan sebuah tanggung jawab tafsir yaitu dengan mengungkapkan eksistensi manusia dalam berbagai situasinya dalam kaitanya dengan manusia yang lain juga dengan alam. Tujuanya ialah mengungkapkan keberadaan dan posisi manusia di alam dengan lima macam dharurat : agama, jiwa, akal, harga diri dan harta atau yang lebih populer disebut dengan maqasidu al-Syari’ah.

3.      Pemikiran Hassan Hanafi

a.      Hermeneutika Aksiomatika
Hassan Hanafi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hermeneutika sebagai aksiomatika ialah deskripsi proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, objektif dan universal, yakni dengan membangun sebuah metode yang bersifat rasional, objektif dan universal dalam memahami teks-teks islam.[20] Sehubungan dengan kitab suci, hermeneutika akan menjadi semacam mathesis Universal. Menurut Hassan Hanafi aksiomatisasi hermeneutika tidak membutuhkan perumusan matematis pada ilmu-ilmu tentang manusia, ia hanya perlu menyusun semua masalah yang dikemukakan oleh sebuah kitab suci dan mencoba menyelesaikanya di muka (in Principil) terakhir meletakan masalah dengan penyelesaian secara bersama-sama dalam bentuk aksiomatis.[21]Yang demikian ini dimaksudkan untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang objektif, rigorus (tepat, akurat) dan universal.
Hassan Hanafi merumuskan upaya kajian tafsir Alquran yang dapat menyentuh masyarakat secara luas dan empiris dengan segala permasalahan yang dialami, tidak hanya berpijak pada ranah teoritis semata. Terlihat maksud bahwa Hassan Hanafi memberikan porsi lebih pada salah satu aspek dari ketiga aspek triadik, yaitu aspel pembaca (Reader)[22]. Ia memberikan tumpuan pada poros kepentingan ideologi dan kepentingan untuk dibawa ke dalam proses penafsiran. Oleh karena itu, seorang penafsir (reader) harus melindungi dirinya dari khayalan-khayalan arbiter dan kebiasaan-kebiasaan pemikiran untuk kemudian mengarahkan pemahaman teks kepada khayalan dan pemikiran itu. Sebab Hassan Hanafi ingin meminimalisisr bahkan mengeleminasi kesewenang-wenangan seorang penafsir terhadap penafsiran teks Alquran. Dengan demikian seorang penafsir mesti mengetahui seiapa dirinya sehingga tidak ada intervensi lain terhadap teks selain penafsir itu sendiri. Menurutnya dengan hermeneutika terapan dapat menciptakan perubahan, mentransformasi penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa) dan dari tradisi ke modernisasi, inilah metode transformasi yang kemudian disebut sebagai tindakan “regresif-progresif”.[23]
b.      Teori Hermeneutika Alquran
Berbeda dengan hermeneutika metodis, hermeneutika yang dirancang Hassan Hanafi, yakni hermeneutika Alquran, lebih berporos pada dimensi sejarah teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan selain dari pembahasan tekhnis penafsiran dan peristiwa penafsiran dalam hermeneutika filosofis. Sebab menurut Hassan Hanafi , prasyarat pemahaman yang baik terhadap suatu teks kitab suci adalah terlebih dahulu membuktikan keaslianya melalui kritik sejarah. Setelah memperoleh keaslianya, barulah hermeneutika dalam pengertian ilmu pengetahuan baru dapat dimulai, yakni berkenaan tentang bahasa dan keadaan-keadaan sejarah yang melahirkan teks. Setelah mengetahui makna yang tepat dari sebuah teks, diikuti dengan proses menyadari teks ini dalam kehidupan manusia. Sebab pada dasarnya, tujuan akhir sebuah teks wahyu adalah bagi transformasi kehidupan manusia itu sendiri.[24]
Secara fenomenologis, hermeneutika dipandang sebagai ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dan objeknya, yakni kitab suci. Hubungan tersebut dapat dilihat dari tiga fase[25]. Pertama, hermeneutika memiliki kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastianya. Kedua, hermeneutika memiliki kesadaran eidetik yang menjelaskan makna teks dan menjadikanya rasional. Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia sebagai struktur ideal yang mewujudkan keteraturan dunia.
Adapun penjelasan yang lebih jelas dari ketiga fase itu di antaranya :
1)      Kritik Historis
Sebagaimana disinggung di awal, bahwa fungsi dari kritik historis adalah untuk memastikan keaslian teks yang disampaikan. Artinya, perhatian hermeneutika terletak pada dimensi horizontalnya wahyu yang sifatnya historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya yang metafisis. Maka dari itu kritik historis harus didasarkan pada aturan objektivitasnya sendiri yang bebas dari intervensi teologis, filosofis, mistis atau bahkan fenomenologis.[26]
Untuk menjamin keaslian teks, Hassan Hanafi memberikan sebuah aturan-aturan sebagai berikut ; 1) teks tersebut tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan tetapi harus ditulis pada saat ucapanya. Karena itu, narator harus orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat dituliskanya kejadian-kejadian tersebut dalam teks. 2) adanya keuTuhan teks. 3) nabi atau malaikat yang menyampaikan harus bersikap netral.[27]
Jika sebuah teks memenuhi persyaratan sebagaimana di atas, ia dinilai sebagai teks asli dan sempurna. Dengan kaca mata ini, Hassan Hanafi menilai bahwa hanya Alquran yang bisa diyakini sebagai teks asli dan sempurna.[28]
2)      Kritik Eidetis
Setelah melalui kritik sejarah, seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau dengan kata lain, Hassan Hanafi menyebutnya dengan kritik eidetis.[29] Hassan Hanafi, menjelaskan bahwa fungsi dari kesadaran eidetis adalah memahami dan menginterpretasi teks setelah validitasnya dikukuhkan oleh kesadaran historis. Selain dari ranah penafsiran, kritik eidetis juga merupakan bagian terpenting dalam ilmu ushul fiqh karena melalui mediasinya proses pengambilan  ketentuan-ketentuan hukum dari  dasar-dasarnya agar menjadi lebih konperhensif.[30]
Hassan Hanafi memberikan ketentuan dalam melakukan proses kritik eidetik, di antaranya ; 1) penafsir harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada. 2) setiap fase dalam teks, mengingat bahwa teks suci turun secara berangsur-angsur dan mengalami perkembangan, maka teks harus dipahami sebagai suatu keseluruhan yang berdiri sendiri.[31]
Adapun tahap analisis kritik eidetis, Hassan Hanafi merumuskan tiga tahapan di antaranya [32]; Pertama, analisa bahasa, yaitu dengan menggunakan analisis linguistik dan sintaksis. Keduanya memiliki fungsi yang bersinambungan dalam fungsi interpretasi makna[33]. Kedua, analisa konteks sejarah. Penafsir harus dapat memusatkan pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks, yang melalui dua jenis situasi ; “situasi saat” dimana teks itu diturunkan dan “situasi sejarah” penulisan wahyu.[34] Ketiga, generalisasi, yaitu mengangkat makna dari situasi “saat” dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi lain. Tujuan dari hal ini dikemukakan oleh Hassan Hanafi adalah untuk memperoleh makna baru dari penafsiran yang lebih spesifik dalam kehidupan masyarakat.[35]
3)      Kritik Praktis
Hassan Hanafi menyebut proses ini dengan proses penyempurnaan kalam ilahi di dunia. Karena menurutnya tak ada kebeneran secara teoritis  dari sebuah dogma sebelum dogma itu diwujudkan secara praktis. Hal ini karena, menurut Hassan Hanafi bahwa Alquran disamping objek pengetahuan, wahyu ilahi ini juga merupakan dasar dogma bagi terciptanya motivasi bagi sebuah tindakan.[36]
Sebuah dogma akan diakui keeksistesnsianya jika didasari sifat keduniaanya sebagai sebuah sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan manusia. Menurutnya, realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia sama dengan realisasi perbuatan ilahiyah dan dengan sendirinya, merupakan realisasi kekuasaan (khilafah) Tuhan di atas bumi.[37]



[1]              Lutfi Syaukani, “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme” dalam Ulumul Qur’an, Vol. V, tahun 1994, 121. Yang dikutip dari jurnal Dr. A Khudori Soleh, M.Ag . dosen Filsafat Islam UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang dengan judul “Mencermati Hermenutika Humanistik Hasan Hanafi”.
[2] Abdurahman Wahid, “Hasan Hanafi dan Eksperimenya, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, Edisi Indonesia (Yogyakarta : LKis, 1994),hlm. Xi.
[3] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir Al-Qur’an  menurut Hasan Hanafi (Jakarta : Teraju. 2002)h. 3
[4] Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istighrab Mauqifuna min Turats al-Gharibi, (Kairo : Dar al-Fannani, 1992).,hlm. 12
[5] Hassan Hanafi, Qadhaya Mu’ashirah fi Fikrina Mua’shir, (Beirut : Dar al-Tanwir, 1983), yang dikutip dalam jurnal karya Muhamad Aji Nugroho dengan judul Hermeneutika Alquran Hassan Hanafi (Dari Teks ke Aksi : Merekomendasikan Tafsir Tematik / Maudhu’i)”.,hlm. 4

[6] Hanafi, Qadhaya Mu’ashirah fi Fikrina Mua’shir, (Beirut : Dar al-Tanwir, 1983)hlm. 4-5
[7] Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishri 1952-1981, Vol. I-VII, (Kairo : Maktabah Madbuli, 1989), buku ini memberikan bukti-bukti munculnya tragedi politik, radikalisme agama islam. Yang dikutip dalam jurnal karya Muhamad Aji Nugroho dengan judul “ Hermeneutika Alquran Hassan Hanafi (Dari Teks ke Aksi : Merekomendasikan Tafsir Tematik / Maudhu’i)”.,hlm. 5

[8] Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Cet. II, (kairo : Maktaah Anjilo, 1982)
[9] Hassan Hanafi, At-Turast wa al-Tajdid Mauqifuna min Turast al-Qadim, (Beirut : al-Mu’assasah al-Jami’ah, 1992)
[10] Wahid, “Hasan Hanafi dan Eksperimenya, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, Edisi Indonesia ,hlm. 119-130
[11] Hassan Hanafi, Min al-Qidah ila al-Tsaurah, (Kairo : Maktabah Mdbuli, 1988)
[12] Hassan Hanafi, Muqaddimah fi I’lmi al-Istighrab Mauqifuna Min Turats al-Gharibi, (Kairo : Dar Al-Fanani, 1992)
[13] Hassan Hanafi, Islam in The Modern World , 2 Volume, Vil. I, Religion, Ideology and Development dan Volume II, Tradition, Revolution and Culture, (Kairo : Dar Kebaa, 2000)
[14] Hassan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Fikri Ad-Din, (Mesir : Madbuly, 1996).,hlm. 160-171
[15] Buku ini terdiri dari dua bagian penyampaian yakni ‘Dialog dan Revolusi’. Pada bagian pertama, Hassan Hanafi membahas ‘ Hermeneutika sebagai Aksiomatika’, judul ini berisi mengenai metologi Penafsiran dan aplikasi metode penafsiranya, seperti pandangan alquran terhadap kitab-kitab suci dan status wanita menurut alquran dan ajaran yahudi . sedangkan di bagian kedua mengandung dua pokok pembahasan ; Pertama, dimulai dengan ‘Teologi tentang Tanah & Agama sebagai perlawanan terhadap Zionisme ; KeduaAgama dan Revolusi”, meskipun terjadi perkembangan krusial tentang perubahan Hassan Hanafi dengan apa yang disebut keadaan individu  (al-Wa’yu al-Fara) pada dekade 1960- 1970 kepada dominanya kesadaran kolektif (al-W’yu al-Ijtima’i) sejak dekade 1980.
[16] Dalam buku ini Hassan Hanafi membagi dalam dua pembahasan . Pertama, Fi Fikrina al-Mu’ashir (Pemikiran-Pemikiran Islam Kontemporer) dan bagian kedua Fi Fikrina al-Gharb al-Mu’ashir (Pemikiran Barat Kontemporer). Dibagian ini ada pembahasan “Qira’ah al-Nash “, Lihat lebih lanjut  dalam Hassan Hanafi, Dirasat Falsafiyah, (Kairo : Anjilu Al-Misniyah , 1987), hlm. 323-549
[17] Hassan Hanafi, al-Din wa Tsaurah fi Mishri 1952-1981, vol. 6, hlm. 233
[18] Hassan Hanafi, al-Din wa Tsaurah fi Mishri 1952-1981, vol. 6,  hlm. 234
[19] B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi ,hlm. 8-9
[20] Hasasan Hanafi, Qadhaya al-Mu’ashirah terj. Yudan Wahyudi dalam Yudan Wahyudi (Ed), Hermeneutika Alquran DR. Hassan Hanafi., hlm. 8-18
[21] Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution.,hlm. 2
[22] Yang dimaksud dengan ketiga unsur triadik yaitu : unsur pencipta teks (author), teks itu sendiri dan pembaca / penafsir (audiens / reader)
[23] Hassan Hanafi, Islam in The Modern World.,hlm. 211
[24] Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution.,hlm.1- 2

[25] Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution.,hlm.1- 2
[26] Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution.,hlm.1- 2
[27] Hassan Hanafi, Qadhaya al-Mu’ashirah, Vol.2, (Beirut : Dar al-Tanwir, 1983), hlm 5-6
[28] IB. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi..,hlm.116

[29] Menurut Saenong, istilah ‘reduksi eidetik’ ini dalam fenomenologi disebut sebagai penyaringan fenomena dari eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam fenomena tersebut. Lihat Ilham B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi. (Jakarta : Teraju, 2002).,hlm. 117

[30] Menurut Hassan Hanafi kritik eidetik ini merupakan bagian yang mempresentasikan kesungguhan dan kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris. Karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia. Lihat Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah.,hlm. 78
[31] Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution.,hlm.13
[32] Ilham B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi. (Jakarta : Teraju, 2002).,hlm.118
[33] Ibid.,hlm. 14-17
[34] Ibid.,hlm. 21
[35] Ibid.,hlm. 16
[36] Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution.,hlm.18

[37] Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah.,hlm. 102.,lihat pula Hassan Hanafi, Humum al-Fikr wa al-Wahan.,cet. Ke-2.(Kairo : Dar Quba, 1998).,hlm. 17-56

Comments

Popular posts from this blog

Penafsiran Al-Qur'an Dr. Hassan Hanafi terhadap pengentasan kemiskinan

   Konsep Pengentasan Kemiskinan Dalam Tafsir Hassan Hanafi Hassan Hanafi membuka kesadaran manusia akan arti pentingnya kesejahteraan umat. Dalam pemikiranya, ia berkata bahwa setiap manusia mesti memiliki pola pikir mengada dalam dunia ( being in the world, aussein, in-der-welt-sein ) yang menunjukan adanya hubungan dengan kesadaran individu dengan alam, dunia benda-benda. [1] Kemiskinan merupakan salah satu problem kemasyarakatan yang secara realitas marak terjadi di berbagai belahan dunia yang semestinya menjadi kesadaran setiap individu. Sementara itu, pemikiran manusia hanya melahirkan gejolak yang baru yang hanya memecahkan masalah secara sepihak. Allah SWT telah menurunkan Alquran sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh manusia. Dan Alquran meliputi segala sesuatu. [2] Dengan demikian, Hassan Hanafi memberikan sebuah penafsiran Alquran yang bermula dari kenyataan umat manusia. Sehingga munculah sebuah penafsiran yang bertemakan harta ( mal ) sebagai salah satu konsep masla

MENGENAL TAFSIR IJMALI

A.     Definisi Tafsir Ijmali sebagai Metode Penafsiran Tafsir secara Bahasa mengikuti wazan taf’il , berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti kata kerja wazan daraba yadribu dan nashara yanshuru . Dikatakan fasara ( asy-syai’a ) yafsiru dan yafsuru , fasran dan fassarahu artinya abaanahu (menjelaskanya). Sehingga kata tafsir secara bahasa menurut Manna Qathan ialah menyingkap. [1] Sementara tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. [2] Sementara menurut Ali Ashabuni adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui penjel

Pandangan Mufassir Klasik hingga Modern terkait problem kemiskinan

Para mufasir telah memberikan penjelasan mengenai kemiskinan dalam Alquran. Salah satunya ialah seorang mufasir yang bernama Quraish syihab yang memiliki sebuah karya tafsir yang bernama Tafsir Al-Misbah .   Menurut Quraish syihab, kemiskinan merupakan orang yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya, dan diamnya itulah yang menyebabkan kefakiranya. [1] Menurutnya pula, terdapat ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang kemiskinan dan ayat-ayat tersebut bernada kritik so s ial, seperti yang terdapat QS. Al-An’am : 151 : ۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١ Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diha