Para mufasir telah memberikan
penjelasan mengenai kemiskinan dalam Alquran. Salah satunya ialah seorang
mufasir yang bernama Quraish syihab yang memiliki sebuah karya tafsir yang
bernama Tafsir Al-Misbah.
Menurut Quraish syihab, kemiskinan merupakan
orang yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya, dan
diamnya itulah yang menyebabkan kefakiranya.[1]
Menurutnya pula, terdapat ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang kemiskinan
dan ayat-ayat tersebut bernada kritik sosial, seperti yang terdapat QS. Al-An’am : 151 :
۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ
أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا
تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ
ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ
لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)
Ayat
ini, menurut Quraish syiihab menjelaskan mengenai pelarangan untuk membunuh
anak karena sedang ditimpa kemiskinan dan mengakibatkan seseorang menduga bahwa
dengan kelahiran anaknya akan menambah beban hidupnya.[2]
Larangan membunuh anak karena kemiskinan menurut Quraish Syihab disebutkan pula
dalam QS. Al-Isra [17] : 31
وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ خَشۡيَةَ إِمۡلَٰقٖۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ
وَإِيَّاكُمۡۚ إِنَّ قَتۡلَهُمۡ كَانَ خِطۡٔٗا كَبِيرٗا ٣١
Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar
Menurut Quraish
Syihab larangan ayat ini bersifat umum yang bermakna memberikan kemiskinan yang
dikhawatirkan oleh sang ayah yakni kemiskinan yang ditakutkan menimpa anaknya,
maka untuk menyingkirkan kekhawatiran sang ayah, ayat ini memberikan sanggahan kepada
sang ayah manapun yang menjadikan
kemiskinan apapun sebabnya sebagai dalih untuk membunuh anaknya[3].
Dalam Alquran
pula dijelaskan bahwa kaum miskin adalah kaum yang berhak untuk menerima zakat,
karena ketidakberdayaan mereka untuk mencukupi kebuTuhan. Hal itu dijelaskan
dalam QS. Al-Taubah : 60.
۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ
وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
Ayat ini
merupakan dasar pokok menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapatkan
zakat. Menurut Quraish Syihab, para ulama telah memberikan beberapa syarat bagi
orang miskin yang berhak menerima zakat. Salah satu di antaranya adalah
ketidakmampuan mencari nafkah. Ketidakmampuan tersebut mencakup banyak faktor
baik karena tidak adanya lapangan kerja, maupun kualifikasi atau kemampuan yang
dimilikinya tidak memadai untuk menghasilkan kecukupanya bersama siapa yang
berada dalam tanggunganya.[4]
Selain Quraish
Syihab, terdapat mufasir lain yang berbicara tentang kemiskinan
ialah Sayyid Qutub dengan tafsirnya Fizilali Alquran.
Menurut Sayyid Qutub gambaran mengenai
kemiskinan dalam Alquran digambarkanya secara sederhana. Yakni orang miskin
ialah hamba yang paling membutuhkan kasih sayang.[5]
Penjelasan Sayyid Qutb mengenai kemiskinan
dalam Alquran dijelaskanya dalam 26 ayat yang tersebar di beberapa tempat dalam
Fi Zilali Alquran di antaranya
dalam (QS. Al-Baqarah : 61, 83, 177, 184 dan 215 yang terdapat pada
jilid I, Juz I), (QS. Ali Imran : 112 Jilid 1, Juz 3), (QS. Al-Nisa : 8, 36
Jilid 1, Juz 4), (QS. Al-Maidah : 89, 96 jilid 2, Juz 6), (QS. Al-Anfal : 41
Jilid 3, Juz 9), (QS. Al-Taubah : 60 Jilid 3, Juz 10), (QS. Al-Isra : 26 Jilid
4, Juz 15), (QS. Al-Kahfi : 79 Jilid 4, Juz 15), (QS. Al-Nur : 22 Jilid 4, Juz
18), (QS. Al-Rum : 38 Jilid 5, Juz 21), (QS. Al-Mujadilah : 4 Jilid 6, Juz 28),
(QS. Al-Hashr : 7, 4 Jilid 6, Juz 28), (QS. Al-Qalam : 24 Jilid 6, Juz 29),
(QS. Al-Haqqah : 34 Jilid 6, Juz 29), (QS. Al-Mudastir : 44 Jilid 6, Juz 29), (QS.
Al-Insan : 8 Jilid 6, Juz 29), (QS. Al-Fajr : 18 Jilid 6, Juz 30), (QS.
Al-Balad : 8 Jilid 6, Juz 30) dan (QS. Al-Ma’un : 3 Jilid 6, Juz 30).[6]
Dalam penjelasanya, Sayyid qutub
menekankan bahwa perlunya orang miskin dibantu ialah dikarenakan mereka lemah
secara ekonomi yakni golongan yang tidak mampu menafkahi diri mereka, dan di
antara mereka ada yang hanya diam. Tidak meminta-minta karena menjaga
kehormatan mereka. Golongan inilah yang menurut Sayyid Qutub perlu mendapat
santunan.[7]
Term miskin dijelaskan oleh Sayyid Qutb
dengan penggambaran penghinaan yang diberikan kepada pendusta agama, yaitu
golongan kafir. Sebagaimana pendapatnya :
Siapakah
gerangan orang yang mendustakan Alquran ini ? ternyata dia hanyalah makhluk
yang kecil, sepele, miskin dan lemah ! Dia hanya sebesar semut kecil, bahkan
seperti butir debu saja. Bahkan tidak berarti apa-apa di hadapan Sang Maha
Perkasa, Maha kuasa lagi Maha Agung.[8]
Dari Penjelasanya di atas, Sayyid Qutb
menggunakan term miskin dengan makna batin atau bisa disebut dengan
istilah makna esoteric (Batin). Menurutnya, term miskin bukan hanya berarti kekurangan harta,
tetapi orang yang lemah secara hakiki jika dibandingkan dengan Allah sebagai
pencipta.[9]
Selain
penjelasanya mengenai term miskin dalam Alquran, Sayyid Qutb juga menjelaskan
penyebab kemiskinan dalam Alquran. Senada dengan Quraish Syihab bahwa rizki
telah dijamin oleh sang pencipta[10],
yang dijelaskan dalam (QS. Hud : 6 ), Sayyid Qutb menekankan bahwa usaha
manusia juga turut andil dalam rangka mencari rizki dari Tuhanya. Meski rizki
makhluk telah ditentukan oleh Allah SWT, akan tetapi manusia memiliki kewajiban
untuk menaati aturan Allah dengan cara memanfaatkan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya.
Artinya bahwa adanya seseorang tidak mendapatkan rizkinya adalah karena dirinya
tidak berkehendak untuk mencarinya. Seperti dalam pernyataan Sayyid Qutb :
Tiap-tiap makhluk memiliki rizki.
Pernyataan ini adalah benar, dan itu tersimpan di alam ini, dengan suatu
ketentuan dari Allah SWT dalam sunnah-Nya bahwa suatu hasil itu diperoleh atas
jerih payahnya. Oleh karena itu, janganlah seseorang tidak mau berusaha padahal
dia tahu bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak, akan tetapi langit
dan bumi penuh dengan rizki yang mencukupi bagi semua makhluk. Rizki tersebut
akan diperoleh oleh makhluk-makhluk ini apabila mereka mencarinya sesuai dengan
sunah Allah SWT yang adil akan kasih sayang dan tidak pernah berganti atau
menyimpang.[11]
Dari
penjelasanya itu, Sayyid Qutb memberikan sebuah gambaran dalam Alquran tentang
bagaimana dampak yang dihasilkan oleh Alquran yakni dengan mengacu kepada salah
satu kata identik dengan miskin, yaitu Di’af dalam QS. Al-Nisa :
9 :
وَلۡيَخۡشَ
ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ
عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Hal itu
diperjelas oleh Musa Asy’ary dengan pernyataan bahwa :
Menghadapi kemiskinan yang
akhir-akhir ini berkembang dalam kehidupan masyarakat, dan pada kenyataanya
telah mendorong berbagai tindakan kejahatan, seperti pencurian, penipuan dan
perampokan yang sangat mengusik ketenangan hidup masyarakat. Dan sudah barang
tentu semua kalangan agama telah mewaspadai bahwa kemiskinan merupakan ancaman
yang paling fundamental bagi keimanan. Dengan demikianlah Alquran mewajibkan
manusia untuk mengatasi kemiskinan dan memberantas kemiskinan.[12]
A. Kajian Tafsir tentang Kemiskinan
Perkembangan
tafsir dari waktu ke waktu semakin terfokus pada permasalahan sosial yang ada
pada masyarakat. Sebagaimana pendapat Fazlur Rahman
bahwa :
Memelihara
Alquran sebagai dasar keimanan, pemahaman dan tingkah laku moral adalah hal
yang esensial. Namun demikian, Alquran harus dijadikan sebagai buku bimbingan
bagi seluruh umat manusia dan bahkan perlu memandangnya secara kritis sebagai
kesatuan dalam kaca mata keilmuan modern, dengan memahami ideal moral dan
mengambil darinya ajaran-ajaran
yang cocok dalam waktu dan tempat tertentu.[13]
Pendapat itu
diperjelas oleh Abdul Mustaqim bahwa pemikiran-pemikiran para pemikir islam
kontemporer ingin merumuskan bagaimana rumusan epistemologi maupun metodologi
tafsir itu dapat digunakan untuk memahami Alquran secara kritis, dialektis,
reformatif, dan transformatif, sehingga produk penafsiran itu mampu menjawab
tantangan dan problem yang dihadapi oleh umat islam. Senada dengan pendapat
Hassan Hanafi yang mengatakan bahwa :
Penafsiran itu
mesti mempertimbangkan kemaslahatan umat serta keinginan kaum muslimin,
kemudian diarahkan pada problem kebaruan. Oleh karena itu, metode penafsiran
kebaruan tersebut sangatlah berkaitan dengan metode fikih sebelumnya mengenai
pemahamanya, yakni perihal istinbat hukum-hukum untuk menghadapi realitas yang
baru.[14]
Bagi
Hassan Hanafi, penafsiran bukanlah sekadar upaya membaca pada teks, melainkan
ia harus menjadi upaya transformasi dan solusi bagi problem sosial yang terjadi
dalam kehidupan.[15]Sehingga
beliau menggagas sebuah metode maudhu’i (tematik) penafsiran yang
bercorak adab al-ijtima’i (Sosial-Kemasyarakatan), sebagai langkah untuk
memberikan solusi terhadap permasalahan sosial termasuk di dalamnya
permasalahan kemiskinan.[16]
Masalah
kemiskinan adalah masalah yang paling krusial, mengingat bahwa kemiskinan dapat
memberikan pengaruh dan dampak yang besar bagi tatanan kemasyarakatan. Alquran
sebagai pedoman umat manusia telah berbicara mengenai masalah kemiskinan di
berbagai ayat. Dan keseluruhan ayat itu telah dihimpun dalam sebuah metode
tafsir yang menggunakan metode tematik dengan corak adab al-ijtima’i.
Berbicara
mengenai corak adab al-ijtima’i, pada akhir-akhir ini, tepatnya pada
tahun 2006, Kementrian Agama RI telah menghasilkan sebuah karya tafsir yang
berjudul “Tafsir Alquran Tematik” yang telah diterbitkan pada tahun 2014.
Tafsir kementrian agama ini disusun secara tematik. Di dalamnya terdapat
analisis terhadap tema-tema yang secara khusus membahas kemiskinan dan
pemberdayaanya. Berikut uraian pembahasan kemiskinan dalam Tafsir Alquran
tematik Kemenag RI :
Dalam pembahasanya, Tafsir Alquran tematik memberikan pembahasan kemiskinan
dengan sebuah judul “Pemberdayaan Kaum Miskin”. Dari judul tersebut, mufasir
memberikan beberapa sub tema penjelasan di antaranya : Pengertian kemiskinan,
pandangan Alquran tentang kemiskinan, faktor penyebab kemiskinan dan upaya
memberdayakan kaum miskin.[17]
Dengan mengutip Imam Al-Qurtubi, mufasir memberikan definisi tentang
kemiskinan. Al-Qurtubi menemukan sembilan definisi tentang kemiskinan, salah
satu di antaranya ialah bahwa miskin merupakan orang yang memiliki penghasilan
tetapi tidak mencukupi kebuTuhan hidup keluarganya[18].
Namun dari kesekian banyak definisi
tersebut, mufasir Kemenag RI mendefinisikan bahwa miskin ialah kelompok orang
yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebuTuhan hidupnya
secara layak.[19]
Mufasir menjelaskan pandangan Alquran tentang kemiskinan. Dalam
penjelasanya mufasir membedakan dua pandangan suatu kelompok terhadap
kemiskinan dalam Alquran. Kelompok pertama berpandangan bahwa kemiskinan
itu lebih baik dari pada kekayaan. Untuk mendasari pandanganya, kelompok
pertama ini mengutip suatu ayat dalam QS. Al-Baqarah : 273 ) :
لِلۡفُقَرَآءِ
ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ
يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ
لَا يَسَۡٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ
بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣
(Berinfaqlah) kepada orang-orang
fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha)
di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara
diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang
kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui
Demikian pula
dengan ayat yang memerintahkan nabi untuk tidak mengusir orang-orang miskin
yang taat kepada Allah SWT. Sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-An’am [6] :
52 :
وَلَا
تَطۡرُدِ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ يُرِيدُونَ
وَجۡهَهُۥۖ مَا عَلَيۡكَ مِنۡ حِسَابِهِم مِّن شَيۡءٖ وَمَا مِنۡ حِسَابِكَ
عَلَيۡهِم مِّن شَيۡءٖ فَتَطۡرُدَهُمۡ فَتَكُونَ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥٢
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya
di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu
(berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim)
Dan dengan
hadits Nabi Allah Muhammad yang berbicara cukup banyak tentang kemiskinan, yang
pada intinya memuji orang-orang yang miskin. Di antara yang terkenal adalah
sebuah doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW yang berbunyi : “ Ya Tuhanku,
Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku dalam kemiskinan dan
bangkitkanlah aku bersama orang-orang yang miskin.”
Disamping
argumen di atas, banyak praktik beragama yang dilakukan oleh para ulama,
khususnya dari kalangan sufi pada masa awal dan masa pertengahan yang memilih
untuk menjadi miskin.[20]
Dari pandangan inilah dapat disimpulkan bahwa kemiskinan menurut mufasir ialah
orang yang dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai
kesempurnaan batin.[21]
Kelompok kedua, berpendapat bahwa kekayaan jelas lebih utama dari pada
kemiskinan. Di antara pendapatnya ialah bahwa kekayaan itu adalah salah satu
sifat Tuhan, sedangkan kemiskinan tidak dapat dinisbatkan kepada-Nya.
Dari pendapat di atas, mufasir mengatakan, mungkin ada sebagian orang
yang menduga terjadi kontradiksi dalam Alquran ; ada ayat yang memuji
kemiskinan dan ada juga ayat yang memuji kekayaan. Para ulama tafsir sepakat
bahwa tidak ada kontradiksi dalam Alquran. Kalau pun ada kesan tersebut, hal
itu disebabkan oleh kekurangan manusia dalam memahami ayat-ayat Alquran.
Meskipun kelompok kedua mengatakan bahwa
harta lebih utama, namun Allah SWT menyebutkan dalam Alquran, bahwa harta
adalah ujian bagi umat manusia. Hal ini
disebutkan setidaknya dua kali dalam Alquran, yakni dalam QS. Al-Anfal [8] : 28
dan QS. At-Thagabun [64] : 15 :
وَٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ
أَجۡرٌ عَظِيمٞ ٢٨
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar
إِنَّمَآ
أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar
Menurut mufasir,
Ayat-ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan bahwa Alquran mendorong agar
menjauhi dunia. Karena ditemukan sekian banyak ayat yang mendorong agr manusia
memaksimalkan usahanya untuk mencari karunia Allah SWT. Dan salah satu karunia
Allah di dunia ini adalah harta. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Jumu’ah [62] : 10 :
فَإِذَا
قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung
Menurut Mufasir, kata Fadl
(Karunia) dalam ayat tersebut diartikan di antaranya berupa rizki hasil usaha
(bisnis). Untuk mendukung argument tersebut, mufasir mengutip pendapat Ibnu
Kastir yang mengutip pendapat dari Ibnu Abi Hatim. Di dalamnya diceritakan
seorang sahabat yang apabila selesai shalat jum’at, dia berdoa :
“Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu ,
melaksanakan salat untuk mencari ridha-Mu
dan akan berjalan (di muka bumi) sebagaimana telah Engkau perintahkan,
maka limpahkanlah rizki kepadaku karena Engkau adalah sebai-baik pemberi
rizki”.[22]
Menurut mufasir, sekiranya rizki
berupa kekayaan dan kecukupan hidup itu sesuatu yang tercela, tentu Allah SWT
tidak akan memerintahkan kepada orang yang beriman untuk mencarinya. Dengan demikian dapat dipahami mengapa Alquran
sejak awal menyebutkan, bahwa salah satu bentuk karunia Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah berupa kecukupan dan dihindarkan
dari kekurangan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Ad-Dhuha [93] : 8 :
وَوَجَدَكَ عَآئِلٗا فَأَغۡنَىٰ ٨
Dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan
Dengan demikian, dari pemaparan yang telah
dijelaskan di atas, mufasir memberikan fokus
pembahasan pada dua kata kunci, yakni ‘ailan (kekurangan)dan agna (kecukupan). Kata ‘ailan terambil dari kata ‘illatun
yang berarti kemiskinan atau kebuTuhan. Kata ini dalam Alquran terulang
sebanyak tiga kali, yaitu Surah An-Nisa [4] : 3, At-Taubah [9] : 28 dan surat
ad-Dhuha di atas. Dari ketiga ayat
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata tersebut dapat diartikan
kesimpulan bahwa kata tersebut dapat diartikan sebagai “ Seseorang yang
membutuhkan “.[23]
Sedangkan kata gina
bisa diterjemahkan dengan kaya atau cukup, seperti dalam terjemahan di atas.
Para mufasir berbeda pendapat. Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi misalnya mengartikan
kata tersebut dengan kekayaan materi. Menurut kedua mufasir ini, kekayaan
materi yang diperoleh Nabi SAW pada masa kecilnya diperoleh melalui Abu Thalib,
ketika dewasa melalui istrinya Khadijah dan setelah dan setelah istri beliau
wafat kemudian melalui Abu Bakar. Setelah keadaan ekonomi menurun akibat
hijrah, Nabi SAW memperoleh kekayaan materi melalui kaum Anshar disusul dengan
hasil rampasan.[24]
Pendapat
tersebut ditolak oleh mufasir lain yang mneyatakan bahwa kata tersebut tidak
harus diartikan dengan kekayaan materi. Dalam Alquran kata tersebut dengan
segala perubahanya terulang sebanyak 81 kali.[25]Pada
umumnya kata tersebut tidak berarti banyak harta. Seperti halnya firman Allah
dalam QS. Ali Imran [3] : 116 , QS. Al-Anfal [8] : 19, bahkan secara tegas
dalam firman Allah dalam QS. Al-Haqqah [69] : 28 :
مَآ
أَغۡنَىٰ عَنِّي مَالِيَهۡۜ ٢٨
Hartaku
sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku
Pandangan yang menyatakan bahwa gina bukan hanya berarti kaya materi
juga didukung oleh hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang
menyatakan, “ Bukanya kekayaan (gina) itu diukur dengan banyaknya harta
benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan hati.[26]
Diakhir penjelasanya, Mufasir mempertegas kesimpulan dari kutipanya
terhadap mufasir-mufasir lain dan dari penafsiranya terhadap Alquran mengenai
kemiskinan, bahwa yang perlu digaris
bawahi adalah, tidak ada ayat yang menyuruh orang menjadi miskin., dan kata gina
juga bukan berarti mendorong agar memilih miskin dan menerima apa adanya. Namun
sebaliknya, spirit ayat-ayat Alquran adalah menyuruh bekerja keras dan bekerja
cerdas.[27]Oleh
karena itu, di dalam Tafsir Alquran Tematik ini disertakan mengenai faktor penyebab kemiskinan yang di
antaranya :
Mufasir mengutip dari para ahli sosial yang
membagi penyebab kemiskinan ke dalam dua faktor :
1.
Kemiskinan
terjadi karena faktor prilaku individu ; bahwa sikap individu yang tidak
produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan.
2.
Kemiskinan
terjadi karena struktur sosial ; keadaan masyarakat dan tatananya yang tidak benar melahirkan
kemiskinan. Dalam hal ini, keadaan masyarakat yang miskin menjadikan
individu-individu anggota masyarakatnya tidak produktif.[28]
Dari faktor yang pertama yaitu sikap individu dapat dikelompokan lagi
menjadi beberapa sebab, antara lain :
a. Faktor Teologis. Sikap keagamaan seseorang diduga dapat
menjadi faktor penyebab kemiskinan, meskipun oleh yang bersangkutan itu
dirasakanya sebagai sesuatu yang memang secure (nyaman-nyaman saja ). Di
antaranya adalah pemahaman yang keliru terhadap beberapa istilah agama : zuhud,
qana’ah, tawakal, dan syukur. Hal tersebut adalah beberapa contoh sikap
keagamaan yang menjadikan seseorang bersikap produktif.
b. Etos kerja yang
rendah.
Rendahnya etos kerja seseorang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya kebiasaan hidup santai dan hanya suka
menikmati tanpa mau bekerja keras serta faktor-faktor lainya yang banyak
ditemukan di masyarakat.[29]
Dan diantara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang telah dijelaskan,
salah satu poin pokok dalam pengentasan kemiskinan menurut mufasir ialah
pemberdayaan kaum miskin melalui pengembangan sikap individu. Karena Allah
telah menjamin rizki setiap hamba-Nya, dan setiap manusia diharuskan untuk
membangun etos kerja yang baik demi menjemput karunia Allah SWT. Ini adalah sebuah kepastian yang dipaparkan
Alquran, sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Dzariyyat [51] : 56-58 :
وَمَا
خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ مَآ أُرِيدُ مِنۡهُم مِّن
رِّزۡقٖ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونِ ٥٧
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ ٥٨
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki
Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh
Dengan demikian dapat penulis
simpulkan bahwasanya kemiskinan dalam Alquran menurut mufasir dalam Tafsir
Alquran Tematik, ditafsirkan bukan
dimaksudkan untuk dipahami bahwa Allah menghendaki kaum miskin dan menghujat
kaum kaya atau pun sebaliknya, namun Allah lebih bermaksud untuk menyuruh agar manusia bekerja keras dan bekerja cerdas.[30]Karena
dari salah satu dari banyaknya faktor kemiskinan ialah rendahnya etos kerja,
maka jelaslah Allah menyuruh manusia untuk bekerja keras yang salah satu
caranya adalah dengan memperdayakan kaum miskin melalui pengembangan sikap
individu untuk mewujudkan etos kerja yang baik, dan karenanya Allah telah
menjamin rizki makhluknya sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS.
Al-Dzariyyat [51] : 56-58 di atas. Untuk meyakinkan manusia
bahwa Allah Maha penyayang atas makhluk-Nya.
Jelaslah bahwa kajian tafsir tentang
kemiskinan yang termasuk dalam pembahasan corak adab al-ijtima’I pada
era modern kontemporer adalah salah satu fokus pembahasan. Mengingat bahwa
paradigma tafsir kontemporer ialah kemaslahatan umat dengan menggagas visi Alquran
shalihu fi kuli zaman wa al-makan (Alquran sesuai dengan perkembangan waktu
dan tempat), maka Alquran akan selalu dibawa untuk dijadikan kitab pedoman dan
solusi dalam seluruh permasalahan kehidupan manusia termasuk kajian tentang
kemiskinan, sehingga Alquran akan selalu hidup untuk memecahkan permasalahan
umat di penjuru waktu dan tempat.
[1]
M. Qurash Syihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian Alquran(Jakarta :
Lentera Hati, 2002).,Vol. 14.,hlm 629
[2]
M. Qurash
Syihab, Ensiklopedi Alquran: kajian kosa kata. (Jakarta : Lentera
Hati).,Vol. 4., hlm 338
[3]
M. Qurash
Syihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian Alquran(Jakarta : Lentera Hati, 2002).,Vol. 4.,hlm. 338
[4]
M. Qurash
Syihab,Op.Cit.,Vol. 4.,hlm. 629-630
[5]
Sayyid Qutb,
Fi zilal Alquran. (Beirut : Dar Al-Shuduq, 2003) Juz 6, hlm. 3683
[6]
Didik Andriawan
dengan judul “ Pengentasan Kemiskinan Menurut Tafsir Fi Zilali Alquran”
(Surabaya : Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2015).,hlm. 66-67
[7]
Sayyid Qutb,
Fi Zilal Alquran. (Beirut : Dar Al-Shuduq, 2003) Jilid I, hlm. 222
[8]
Ibid, Jilid 6.,hlm.
3668
[9]
Didik Andriawan
dengan judul “ Pengentasan Kemiskinan Menurut Tafsir Fi Zilali Alquran”
(Surabaya : Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2015).,hlm. 69
[10]
M. Quraish Syihab, Wawasan Alquran Tafsir Maudhu’i
atas berbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 2001).,hlm. 449
[12]
Musa Asy’arie, Islam Keseimbangan Rasionalitas,
Moralitas dan Spritualitas, (Yogyakarta : LESFI, 2005).,hlm. 181
[13]
Fazlur Rahman, The Impact Of Modernity, dalam Islamic
Studies, jld. V, (1996).,hlm. 121 dikutip dalam buku karya Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta : LkiS, 2012).,Cet. III.,hlm. 3
[14]
Hanafi, Al-Din
wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7., hlm. 78
[15]
M. Mansur, Metodologi Penafsiran Realis ala Hassan
Hanafi., dalam Jurnal Alquran dan Hadis, Volum. 1, No. 1, (Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000), hlm. 16-18
[16] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir
Kontemporer, (Yogyakarta : LkiS, 2012).,Cet. III.,hlm. 73
[17]
Badan Linbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Tafsir
Alquran Tematik, (Jakarta : Pustaka Kamil, 2014).,hlm. 47-48
[18]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Al-Ahkam, Jilid 8.,hlm. 151
[19]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Al-Ahkam, Jilid 8.,, hlm. 49
[20]
Al-Hujwiri, Kasyf Al-Mahjub, (New Delhi : Taj
company, 1982).,,hlm. 27
[21]
Badan Linbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Tafsir
Alquran Tematik.,hlm. 51
[23]
M. Qurash
Syihab, Tafsir Alquran Al-Karim (Bandung : Pustaka Hidayah, 1997).,hlm. 514
[24]
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf. Jilid I.,hlm. 1368
[25] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahrasy fi
al-Fadzi Alquran, (kairo : Dar al-Hadits, 1364 H), hlm. 495
[26]
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi : Kitab Zuhud,
NH.,hlm. 2295
[27] Badan Linbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Tafsir
Alquran Tematik.,hlm. 55-56
[28]
Michael Serraden, Asset and the Poor : A New American
Welfare Poilicy, trj. Sirajuddin Abbas et. Al. “ Untuk Orang
Miskin : Persfektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006.,hlm. 47 yang dikutip dalam buku karya Badan Linbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, Tafsir Alquran Tematik.,hlm. 56
[29]
Badan Linbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Tafsir
Alquran Tematik.,hlm. 56-57
[30] Badan Linbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Tafsir
Alquran Tematik.,hlm. 55-56
Comments
Post a Comment