Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang benar-benar membutuhkan sebuah
bantuan dan solusi mengenai kebuTuhan yang selama ini mereka butuhkan. Terdapat
beberapa term atau pun istilah yang mengindikasikan terhadap konsep umum
Alquran tentang kemiskinan di antaranya, kata miskin, fakir[1],
imlaq, al-Sail wa al-Mahrum, ‘aylah dan al-Qani’ wa al-Mu’tar ;
1.
Term kata miskin dalam Alquran
Secara etimologis term miskin berasal dari
kata sakana – yaskunu – maskanah – miskin, yang memiliki arti berhenti
bergerak, serupa dengan makna sakata yang berarti diam.[2]
Dalam pengertian terminologi, Al-Raghib Al-Ashfahani mengatakan bahwa al-Miskin
berarti orang yang tidak memiliki apa-apa.[3]Ibnu
Faris berkata :
Huruf “Sin, kaf dan Nun” adalah huruf asli dan umum
menandakan pada suatu makna kebalikan dari hal yang bergerak dan bergejolak,
seperti dikatakan ‘sakana asy-syai’u
sukunan sakinan’.sehingga dapat dijelaskan bahwa kemiskinan merupakan orang
yang ditenangkan oleh
kefakiran dan ia adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau orang yang
memiliki sesuatu yang tidak mencukupi kebuTuhanya.[4]
Dalam Alquran sendiri, terdapat 25
ayat yang yang terbentuk dari sakana (baik dalam bentuk tunggal atau pun dalam
bentuk jamak) yang mengandung arti kemiskinan, di antaranya : kata al-maskanah
pada (QS, Al-Baqarah : 61) dan (QS. Ali Imran : 112), kata miskini pada
(QS. Al-Baqarah : 184), kata al-miskina pada (QS. Al-Rum : 38), (QS. Al-Isra : 26), kata miskinan
pada (QS. Al-Mujadalah : 4), kata maskinun
pada (QS. Al-Qalam : 24), kata al-miskini pada (QS. Al-Haqah : 34), kata
al-miskina pada (QS. Al-Mudatsir : 44), kata al-miskini pada (
QS. Al-Fajr : 18), kata miskinan pada (QS. Al-Balad : 16), (QS. Al-Insan
: 8), kata al-miskini pada ( QS. Al-Ma’un : 3), kata al-masakini pada (QS. Al-Baqarah :
83), kata al-masakina pada (QS. Al-Baqarah : 177), kata al-masakini
pada (QS. Al-Baqarah : 215), kata al-masakinu pada (QS. Al-Nisa : 36),
kata masakina pada (QS. Al-Maidah : 89, 95), kata al-masakini
pada (QS. Al-Anfal : 41), kata al-masakin pada ( QS. Al-Taubah : 60),
kata masakina pada (QS. Al-Kahf : 79), kata al-masakina pada (QS.
Al-Nur : 22) dan kata al-masakini pada ( QS. Al-Hashr : 7).[5]
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa kata miskin relatif memiliki
makna yang sama, yaitu orang-orang miskin. Terkait definisi miskin, dalam
riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
“Bukanlah orang miskin itu orang yang selalu keliling kepada manusia, ia
tertolak untuk mendapat satu atau pun dua suap , satu kurma atau dua kura,
tetapi yang disebut orang miskin ialah orang yang tidak mendapat sesuatu yang
mencukupinya, ia malu untuk meminta-minta kepada manusia, dan tidak ada yang
tahu sehingga bisa bersedekah kepadanya. [6]
2.
Term kata Faqr dalam Alquran
Kata faqr merupakan bentuk masdar yang berakar dari susunan
huruf-huruf fa, qaf dan ra. Kata ini dibaca faqr atau fuqr.[7]Makna
dasar yang ditunjukan dalam Alquran di antaranya adalah. Pertama, bermakna
perlu atau butuh kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT.
Yakni dalam (QS. Al-Qasas : 24) :
فَسَقَىٰ
لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَآ أَنزَلۡتَ
إِلَيَّ مِنۡ خَيۡرٖ فَقِيرٞ ٢٤
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk
(menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa:
"Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku"
Dalam Al-Mu’jam al-Mufahros li
Ma’any Alquran Al-Azim dijelaskan bahwa ada tiga ayat yang berisi term
faqr beserta kandungan peristiwa di dalamnya yang bermakna butuh kepada
Allah, yaitu pada (QS. Fatir 35 : 15 ) dan (QS. Muhammad 47 : 38 ).[8] Term kedua pada
kata faqr bermakna azab yang amat dahsyat. hal itu terdapat dalam (QS.
Al-Qiyamah : 25) :
تَظُنُّ
أَن يُفۡعَلَ بِهَا فَاقِرَةٞ ٢٥
mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat
dahsyat
Menurut Al-Mubarad, term al-faqirah di atas merupakan
malapetaka yanug mampu menghancurkan tulang punggung. Kata al-faqirah
tersebut berasal dari kata al-fiqrah dan al-faqarah yang bermakna
seakan-akan seperti bencana hebat yang hingga sampai memecahkan tulang
punggung.[9]
Sedangkan menurut Ibnu Katsir, term faqr ini dimaknai dengan kondisi
yang lebih buruk dari makna miskin[10],
dikarenakan orang fakir tidak sama sekali memiliki harta terkecuali apa yang
mereka pakai, dan itu pun hanya satu-satunya yang ia miliki. Sedangkan term miskin
dimaknai sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari faqr, hal itu
dibuktikan oleh Ibnu katsir dengan mengutip ayat Alquran QS. Al-Kahfi : 79.
أَمَّا
ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتۡ لِمَسَٰكِينَ يَعۡمَلُونَ فِي ٱلۡبَحۡرِ فَأَرَدتُّ أَنۡ
أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٞ يَأۡخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصۡبٗا ٧٩
Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera
Dalam Alquran, term faqr beserta derivasinya diulang
sebanyak 14 kali. 3 di antaranya termasuk surat makiyah sedangkan 11 termasuk
madaniyah. Adapun term faqr yang memiliki makna miskin adalah
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2] : 268 dan QS. Al-Nisa [4] : 6.
ٱلشَّيۡطَٰنُ
يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةٗ
مِّنۡهُ وَفَضۡلٗاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٢٦٨
Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan
menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu
ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengatahui
وَٱبۡتَلُواْ
ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ
رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا
وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ
فَقِيرٗا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ
أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٦
Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian itu)
3.
Term Imlaq dalam Alquran
Term imlaq merupakan pola masdar dari kata amlaqa yang berarti fakir.[11]Dalam
Alquran kata imlaq diulang sebanyak dua kali, yakni dalam QS. Al-Isra [17] : 31
dan QS. Al-An’am [6] : 151 sebagai berikut :
وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ خَشۡيَةَ إِمۡلَٰقٖۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ
وَإِيَّاكُمۡۚ إِنَّ قَتۡلَهُمۡ كَانَ خِطۡٔٗا كَبِيرٗا ٣١
Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar
۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ
أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ
وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)
Menurut Ibnu
Manzur makna imlaq adalah banyak membelanjakan harta dan boros terhadapnya sehingga mengakibatkan datangnya
kebuTuhan.[12]Makna
lain dari imlaq adalah takut miskin yang dimana makna ini merupakan pelengkap
terhadap makna di atas. Merujuk kepada ayat di atas, maka imlaq itu terjadi
karena adanya anak dan biaya untuk kebuTuhan hidup yang kian bertambah.
Sehingga ketidak cukupan itulah yang
dianggap menjadi penyebab timbulnya
kemiskinan.
4.
Term Al-Sail wa al-Marhum dalam Alquran.
Al-Sail merupakan isim fa’il dari kata kerja fa’ala
yang berarti orang yang meminta. Begitu pun dengan bentuk masdarnya yang
beragam, di antaranya sual, saalah, mas’alah, tas’al dan sa’alah.[13]Adapun
perincian dari keenam kategori dari term tersebut ialah, pertama, Al-Su’al
al-Istifhamy (permintaan keterangan), kedua, Al-Su’al al-Istifham
al-Inkary (pertanyaan bersifat ingkar), ketiga Al-Su’al al-Istifham
al-Taubikhy (pertanyaan bersifat menegur), keempat, Al-Su’al al-Istifham
(pertanyaan bersifat menetapkan), kelima, Su’al Hisab (pertanyaan
perhitungan) dan keenam, Al-Sual al-Thalaby (permintaan suatu tuntutan).[14]
Sedangkan
kata al-mahrum merupakan isim maf’ul dari kata kerja haruma –
yahrumu yang memiliki makna mencegah. Terdapat dua ayat dalam Alquran yang
menyebutkan istilah al-sail wa al-mahrum, yakni (QS. Al-Dzariyat [15] :
19 ) dan (QS. Al-Ma’arij [70] : 25.[15]
وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ
لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩
Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian
لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ
٢٥
Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)
Secara
konteks, term mahrum memiliki dua makna. Pertama, berdasarkan
kronologis nuzul yang diriwayatkan oleh al-Thabari, yaitu sekelompok
orang yang datang setelah terjadi peperangan dan setelah harta ghanimah
dibagikan. Sesuai dengan dalil inilah nabi Allah Ibrahim mengatakan bahwa al-mahrum
merupakan orang yang tidak mendapatkan harta fay’. Mereka termasuk
kalangan yang bernasib buruk.[16]
Kedua,
term marhrum bermakna orang yang tidak mengharapkan harta baginya. Mahrum
digambarkan sebagai seseorang yang menjaga kehormatan dirinya. Sehingga orang
lain yang tidak mengetahuinya menyangkannya sebagai orang yang berkecukupan.
Oleh karena itu, ia tidak mendapatkan sedekah dari mayoritas orang.[17]
5.
Term ‘Aylah dalam Alquran
Term
‘aylah berasal dari kata ‘ala – ya’ilu dengan bentuk fa’ilnya
yakni ‘ail. Menurut Ibnu Manzur bahwa ‘aylah bermakna
membutuhkan.[18]
Terdapat setidaknya dua
ayat dalam Alquran yang menggunakan kata ‘aylah, yakni dengan bentuk isim
fa’il berupa ‘ail dan dalam bentuk masdar berupa ‘ailatun.[19]
Keduanya terulang dalam (QS. Al-Dhuha : 8) dan (QS. Al-Taubah : 28).
وَوَجَدَكَ عَآئِلٗا فَأَغۡنَىٰ ٨
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ
بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ وَإِنۡ خِفۡتُمۡ عَيۡلَةٗ فَسَوۡفَ يُغۡنِيكُمُ ٱللَّهُ
مِن فَضۡلِهِۦٓ إِن شَآءَۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٢٨
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati
Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka
Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia
menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
Berbeda
dari term faqir yang berkonotasi pada harta, term ‘ayla menurut
Raghib Al-Ashfahani berkonotasi pada faqir terhadap rahmat dan pengampunan
Allah SWT. Seperti halnya dalam QS. Al-Dhuha : 8, “ Dan Dia mendapatimu sebagai
orang yang kekurangan”, lalu dia memberikan kecukupan”, maksudnya ialah
kekurangan rahmat dan pengampunan Allah, lalu Allah melebihkan rahmat dan
pengampunanya kepada Nabi Muhammad.[20]
Berbeda dengan pendapat
para mufasir lainya seperti Sayyid Qutb,
Zamakhsyari dan Al-Baidhawi. Menurut Sayyid Qutb dan Al-Zamakhsyari kata ‘ail
dimaknai sebagai orang yang membutuhkan harta.[21] Sedangkan menurut
Al-Baidhawi kata ‘ail dimaknai sebagai kondisi Nabi Muhammad yang fakir,
kemudian dijadikan kaya dengan perniagaan yang dilakukanya.
6.
Term Al-Qani’ wa
Al-Mu’tar dalam Alquran
Term
Qani’ dan Term Mu’tar merupakan dua term yang
memiliki makna hampir sama meskipun ada beberapa perbedaan. Term Qoni’
berasal dari dua bentuk wazan yakni dari kata qani’a – yaqna’u – qana’ah
yang berarti rida, dan qana’a – yaqna’u – qunu’ yang berarti meminta.[22]Dalam Alquran terdapat dua
ayat yang menyebutkan term al-Qani’ dan mustahaqnya, yaitu QS. Al-Hajj [22] :
36 dan QS. Ibrahim [14] : 36.
وَٱلۡبُدۡنَ جَعَلۡنَٰهَا
لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمۡ فِيهَا خَيۡرٞۖ فَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ
عَلَيۡهَا صَوَآفَّۖ فَإِذَا وَجَبَتۡ جُنُوبُهَا فَكُلُواْ مِنۡهَا
وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرۡنَٰهَا لَكُمۡ
لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٣٦
Dan telah Kami jadikan untuk kamu
unta-unta itu sebahagian dari syi´ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang
banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya
dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati),
maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang
ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami
telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur
مُهۡطِعِينَ مُقۡنِعِي
رُءُوسِهِمۡ لَا يَرۡتَدُّ إِلَيۡهِمۡ طَرۡفُهُمۡۖ وَأَفِۡٔدَتُهُمۡ هَوَآءٞ ٤٣
Mereka datang
bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata
mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong
Sementara
Term al-Mu’tar menurut Ibnu
Manzur diartikan sebagai orang yang mengelilingimu dengan tujuan mencari apa
yang ada padamu dengan meminta atau diam. [23]Dalam Alquran sedikitnya
terdapat dua ayat yang menyebutkan term
al-Mu’tar beserta kata jadianya, yakni pada QS. Ibrahim [14] : 43 di atas
dan QS. Al-Fath [48] : 25
هُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ
وَصَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ وَٱلۡهَدۡيَ مَعۡكُوفًا أَن يَبۡلُغَ
مَحِلَّهُۥۚ وَلَوۡلَا رِجَالٞ مُّؤۡمِنُونَ وَنِسَآءٞ مُّؤۡمِنَٰتٞ لَّمۡ
تَعۡلَمُوهُمۡ أَن تَطَُٔوهُمۡ فَتُصِيبَكُم مِّنۡهُم مَّعَرَّةُۢ بِغَيۡرِ
عِلۡمٖۖ لِّيُدۡخِلَ ٱللَّهُ فِي رَحۡمَتِهِۦ مَن يَشَآءُۚ لَوۡ تَزَيَّلُواْ
لَعَذَّبۡنَا ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمًا ٢٥
Merekalah orang-orang yang kafir yang
menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban
sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang
mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu
akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa
pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan
mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya.
Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang
yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih
Adapun persamaan dan
perbedaan antara term Qani’ dan Mu’tar
ialah bahwa kedua term tersebut sama-sama memiliki arti faqir. Namun
perbedaanya terletak pada bentuk realisasinya. Term Qani’ bermakna tidak
secara tegas meminta dan rela dengan apapun yang ia dapatkan, sedangkan term
al-Mu’tar secara tegas meminta bahkan secara tegas Ibnu manzur menjelaskan
hingga sampai mengelillingi dengan maksud meminta.
Dengan
demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa dari banyaknya term-term
tentang kemiskinan dalam Alquran, masing-masing dari term itu menunjukan
makna yang sama yakni, sama-sama memiliki makna yang menunjukan pada kondisi
yang diakibatkan oleh kekurangan harta. Namun, dari kesamaan tersebut ada yang
memaknai kekurangan harta itu merpakan suatu tindakan untuk menjaga kehormatan
dirinya seperti dalam (QS. Al-Dzariyat
[15] : 19 ) dan (QS. Al-Ma’arij [70] : 25, yang mengakibatkan ketakutan seperti yang
dijelaskan pada QS. Al-Isra [17] : 31
dan QS. Al-An’am [6] : 151, atau yang mengindikasikan
meminta-minta seperti dalam QS. Al-Hajj [22] : 36 dan QS. Ibrahim [14] : 36.
[1]
Tri Cahya dengan judul “ Kemiskinan Ditinjau Dari
Persfektif Alquran Dan HadisVol.9, No. 1, hlm.45
[2]
Muhammad bin Mukarram bin
‘ali, Lisanu al-Arabi, Vol. 5, (Beirut :Dar Sadir, 1414 H), hal. 60
[3] Abu Qasim Muhammad Al-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufradat
fi Al-Gharib Al-Qur’an, (Beirut : Dar Al-Ma’rifah, tth).,hlm. 237
[4]
Ibnu Faris, Mu’jam Muqayis, Juz 3., hlm. 88
[5] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahrasy fi
al-Fadzi Alquran, (kairo : Dar al-Hadits, 1364 H), hl. 353-354
[6]
Imam Ahmad Ibn Muhammad ibn Hanbal, Al-Musnad, Juz
8 ( Kairo : Dar Al-Hadist).,hlm 227
[7]
Muhammad ibn
Mukrim Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, vol.13 (t.k : t.p , t.t )., hlm,211.
[8]
Muhammad Bisam
Rushdy Al-Zain, Al-Mu’jam Al-Mufahros li Ma’any Al-Quran Al-Azim,
(Damaskus : Dar Al-Fikr, 1995), Vol. 2, 904.
[9] Abu ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Amr Al-Taimy
Al-Razi, Mafatih Al-Ghaib, (Maktabah Al-Shamilah Al-Isdar Al-Thani), Juz
16., hlm. 202
[10]
Abu Al-Fida’
Ismail Ismail Ibn ‘Amr Ibn Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, (t.k : Dar
Tayyibah, 1999).,Vol.1.,hlm. 705
[11]
Muhammad ibn Mukrim ibn Manzur, Lisan al-‘Arabi,
vol. 10.,hlm. 347
[12]
Muhammad ibn
Mukrim Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, vol.10.,hlm. 347
[13]
Muhammad ibn
Mukrim Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, vol.11.,hlm. 318
[14]
Muhammad Bisam
Rushdy Al-Zain, Al-Mu’jam Al-Mufahros li Ma’any Al-Quran Al-Azim,
(Damaskus : Dar Al-Fikr, 1995), Vol. 2, 904.
[15] Abdul Baqi, Mu’jam Mufahrasy fi al-Fadzi Alquran,),
hlm. 199
[16]
Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan,
Vol 22.,hlm. 417
[17]
Syihahabuddin
Mahmud Al-Alusy, Ruh Al-Ma’any fi Tafsir Al-Quran Al-‘Azim wa Al-Sab’
Al-Mathany.(Maktabah Al-Shamilah Al-Isdar Al-Thani ).,Vol. 19.,hlm. 373
[18]
Muhammad ibn
Mukrim Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, vol.11.,hlm. 488
[19] Abdul Baqi, Mu’jam Mufahrasy fi al-Fadzi Alquran, ,
hlm. 495
[20] Abu Qasim Muhammad Al-Raghib Al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Al-Gharib
Al-Qur’an, (Beirut : Dar Al-Ma’rifah, tth).,hlm. 354
[21] Sayyid Qutb, Tafsir Fizilali AlQuran
(Dibawah Naungan Alquran).Terj. As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim
Basyarahil dan Muchotob Hamzah (Jakarta : Gema Insani Press, 2004).,Jilid. XII., hlm. 291
[22]
Raghib Al-Ashfahani, hlm. 413
[23]
Ibn Manzur, Lisan
al-‘Arab, vol.4.,hlm. 555
Comments
Post a Comment