Fakta Dr. Hassan Hanafi
Mufassir adalah orang yang
menafsirkan Alquran yang memiliki peranan penting bahkan turut menentukan bagi
pemasyarakatan Alquran. untuk itu, mufassir perlu memiliki
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.
Di era milenia ini, penafsir-penafsir
Alquran bermunculan dengan berbagai metode dan analisis penafsiran yang
beragam. Tak sedikit pula penafsiran mereka berseberangan dengan metode yang
diterapkan oleh mufassir terdahulunya, bahkan cenderung bersifat dekonstruktif. Jelaslah, hal ini mengakibatkan polemik yang cukup signifikan dikalangan para
mufassir, terutama banyak sekali bermunculan kritik yang diluncurkan para
mufasir di era ini terhadap pemikiran mufassir terdahulu dengan argumen yang
beragam.
Hassan Hanafi
adalah seorang pemikir kontemporer yang memusatkan dirinya untuk berkecimpung
di bidang penafsiran Alquran[1].
Banyak dari karyanya yang mendapatkan apresiasi, namun tak sedikit pula yang
menuai kontroversi. Kontroversi yang paling banyak diperbincangkan adalah
predikat mufassir yang disandingkan dengan kegiatan penafsiranya. Seperti yang
telah kita ketahui bahwa, menjadi seorang mufassir adalah tanggung jawab besar
yang di dalamnya terdapat persyaratan yang berat.
Seperti yang
diungkapkan oleh Manna’ Al-Qathan dalam kitabnya Mabahis fi ‘Ulumi Al-Qur’an
bahwa menjadi seorang mufassir harus melalui persyaratan tertentu, di antaranya
adalah persyaratan fisik dan psikis.
Yakni seorang mufassir harus orang dewasa (baligh) dan berakal
sehat, sehingga anak kecil dan orang gila, tidak dapat diterima penafsiranya.
Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika penafsiran
yang lazim dikenal dengan adab al-mufassir, yaitu harus sehat itikadnya
( shihhat al-i’tiqad), bagus niatnya (husn al-niyyah), lurus
tujuan / maksudnya (shihhat al-maqsud), baik akhlaknya (husn
al-khuluq) dan patut diteladani amal perbuatanya (al-imtistal wa
al-‘amal)[2].
Syarat lain yang tak kurang penting ialah beragama islam, sehingga orang kafir
tidak dibenarkan menafsirkan Alquran karena tidak memiliki kepentingan apapun
dengan Alquran. Selanjutnya persayaratan yang mesti dilalui oleh mufassir ialah
menguasai perangkat-perangkat keilmuan dalam menafsirkan Alquran, terutama
ilmu-ilmu yang tergolong kelompok ilmu-ilmu Alquran (‘ulumu Al-Qur’an). Jalaludin
As-Syuyuti dalam kitabnya Al-Itqan Fi ‘Ulumi Al-Qur’an menjelaskan bahwa
sedikitnya ada 15 perangkat ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir
yaitu : 1) ilmu bahasa Arab ; 2) ilmu nahwu (gramatika); 3) ilmu al-tashrif (perubahan kata) ;
4) ilmu al-isytiqoq ( morfologi) ; (5,6,7) ilmu ma’ani, ilmu badi’
dan ilmu bayan yang ketiganya terhimpun dalam ilmu balaghah (
kesusastraan Arab) ; 8) ilmu qira’at / tekhnik membaca Alquran ; 9) ilmu
ushul al-din / kalam / teologi ; 10) ilmu ushul al-fiqh ; 11) ilmu
asbab al-nuzul dan al-qashash ; 12) ilmu nasikh wa al-mansukh
; 13) ilmu fiqh ; 14) hadist-hadist al-nabawi ; 15) ilmu-ilmu
al-mauhibah, yakni pengetahuan yang diberikan Allah kepada orang-orang
tertentu yang selalu siap mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.[3] Selain
dari itu ulama terdahulu telah menerapkan kaidah tafsir (Qawaid al-Tafsir)
yang mengatur tentang cara dan mekanisme penafsiran Alquran yang harus
dipedomani oleh mufassir yang disusun dalam beberapa langkah di antaranya : langkah
pertama, menafsirkan Alquran dengan
Alquran, manakala mufasir tidak menemukan penafsiran Alquran dengan Alquran
maka mufassir dipersilahkan untuk menggunakan langkah kedua yakni
menafsirkan Alquran dengan al-Hadist. Manakala mufassir tidak menemukan penafsiran
Alquran dengan al-Hadits, maka mufassir diperilahkan untuk menggunakan langkah
ketiga yakni menafsirkan Alquran dengan merujuk kepada pendapat sahabat
bahkan tabi’in. Langkah keempat adalah melakukan pendekatan kebahasaan dan
langkah kelima ialah penafsiran yang dilakukan didasarkan atau disesuaikan
dengan makna teks (Ayat) atau redaksi dari kekuatan syara’.[4]
Dalam hal ini,
ulama kontemporer menanggapi akan kriteria mufassir terdahulu yang dinilainya
terlalu berat yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan makna Alquran yang
sebenarnya begitu luas, sebab menutup kemungkinan besar pemikir dari luar
persyaratan tersebut untuk menuangkan pemikiranya terhadap Alquran. Namun dalam
hal ini, para ulama klasik menilai bahwa persyaratan tersebut bertujuan tiada
lain untuk melindungi kemurnian Alquran dari intervensi eksternal yang
mengakibatkan kontradiksi.
Hassan Hanafi
memiliki orientasi yang berbeda dengan kegiatan
penafsiran ulama terdahulu. Ia menggunakan penafsiran induktif untuk memulai
penafsiran. Hasan Hanafi berasumsi bahwa membaca teks seyogyanya sama dengan
proses memahaminya, sementara yang menjadi objek pemahaman itu adalah teks.
Membaca teks lebih lanjut dapat disejajarkan dengan teori pengetahuan filsafat
skolastik yang ditandai dengan relasi subjek objek. Jika membaca adalah subjek,
maka objeknya adalah teks[5].
bahkan lebih jauh Hassan Hanafi mengatakan bahwa realisasi wahyu dalam sejarah
melalui perbuatan manusia sejajar dengan realisasi perbuatan illahiyah.
Sehingga memahami manusia sama dengan memahami Tuhan, karena dengan sendirinya
merupakan realisasi kekuasaan (khilafah) Tuhan di atas bumi.[6]
Penafsiran induktif Hassan Hanafi
tidak terlepas dari beberapa faktor di antaranya upaya dekonstruksi Hassan
Hanafi terhadap pandangan ulama tafsir terdahulu. Hassan Hanafi menganggap
bahwa berkaitan dengan makna teks dalam sejarah, meskipun terdapat bukti-bukti
sejarah tentang situasi yang melahirkan teks, namun ia tetap bukan menjadi
pendasaran bagi penafsiran masa kini. Hal ini karena sumber-sumber sejarah
tetap tidak akan pernah memadai. Kalau pun sumber sejarah dijadikan sumber,
maka yang terjadi justru adalah kontroversi sejarah dari pada menafsirkan teks
tersebut[7].
Karena bagi Hassan Hanafi menafsirkan teks dalam situasi kontemporer sepenuhnya
merupakan kegiatan produktif, suatu bacaan atas teks berfungsi untuk menemukan
dimensi-dimensi baru dalam teks yang sama sekali belum ditemukan sebelumnya,
bahkan dimaksudkan oleh makna awalnya. Namun dalam hal ini, pandangan Hassan
Hanafi telah mengabaikan prinsip-prinsip penafsiran yang berpotensi
mengakibatkan distingsi pemahaman akan sejarah.
Asbab al-nuzul merupakan poin penafsiran yang penting dalam memahami Alquran.
apabila sejarah dipami sebuah hal yang menyebabkan kontroversi, maka loyalitas
akan sejarah dalam penafsiran lambat laun akan diabaikan. Hassan Hanafi
beranggapan bahwa manusia mampu memahami peristiwa-peristiwa yang dapat
menimbulkan lahirnya wahyu. Anggapan ini melahirkan pemahaman bahwa tidak ada ayat atau pun surat yang
tanpa di dahului oleh asbab al-nuzul. Hanya pemahaman asbab al-nuzul
Hassan Hanafi berbeda dengan pemahaman mayoritas mufassir. Hassan Hanafi
berpendapat selain diartikan sebagai sebab turunya ayat pada peristiwa tertentu
pada waktu dimana ayat itu diturunkan, namun asbab al-nuzul juga
diartikan sebagai pemahaman manusia akan peristiwa yang sedang berlangsung atau
pun peristiwa yang akan terjadi di mana hal itu menjadi sebab asbab al-nuzul
ayat yang bersangkutan itu diturunkan, meskipun Alquran telah diturunkan 14
abad yang lalu. Sehingga asbab al-nuzul akan terus mengalami pembaharuan
sejalan dengan masa kehidupan manusia. Hal ini jelas-jelas merekonstruksi
pemahaman asbab al-nuzul para ulama terdahulu yang dapat berpotensi akan
adanya pencabangan pemahaman terhadap aspek asbab al-nuzul baik terhadap
suatu ayat atau pun surat yang tergantung pada
pemahaman subjek terhadap ayat atau surat dalam Alquran, dan hal itu
bisa bernilai baik bahkan dapat berakhir merugikan dan merusak tatanan asbab
al-nuzul itu sendiri. Namun dari keseluruhan, Hassan Hanafi menggunakan perangkat ulumu
Alquran sebagai alat penafsiranya, akan tetapi dalam penerapanya Hassan Hanafi
menuangkan cara dan pemikiran yang berbeda.
Dapat disimpulkan bahwa Hassan Hanafi merupakan seorang mufassir
kontemporer yang memiliki pemikiran dekonstruktif terhadap mufassir terdahulu
terutama dalam penggunakaan perangkat ulumu Alquran. Hassan Hanafi pula telah
mengabaikan langkah Qawaid al-Tafsir
(kaidah penafsiran ) namun cenderung menggunakan langkah Qawaid tafsir
yang dinilainya mampu untuk memberikan makna terbaik terhadap Alquran terutama Qawaid
tafsir yang lebih mengarah pada sisi kebahasaan. Namun disisi lain
pemikiranya telah digunakan dan berpengaruh pada sisi pngetahuan hermeneutika
Alquran.
[1]
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir
Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi .,h. 83
[2] Manna’ Al-Qathan, Mabahis fi ‘Ulumi Al-Qur’an, (t.k. : Mansyurat
al-Ashr al-Hadist, 1393 H / 1973 M), hlm. 331-332 lihat pula Muhammad Amin suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran,
(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 403
[3] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi Ulumi Al-Qur’an , jil. 2, hlm.
180-182. Lihat pula Muhammad Amin suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2001) hlm. 404
[4] Badr al-Din
Muhammad Abdullah Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumi Al-Qur’an, (Beirut :
Lubnan, Dar al-Fikr, t.t). hlm. 175. Lihat pula Muhammad Amin suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2001) hlm. 420-422
[5]
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir
Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi . h. 123
[6]
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir
Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi .hlm. 122
[7]
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir
Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi h. 128
Comments
Post a Comment