Skip to main content

Mengenal Model Penafsiran Dr. Hassan Hanafi

Metode Tafsir Hassan Hanafi

Penafsiran dari waktu ke waktu mengalami perubahan, baik secara praktis mau pun teoritis. Dalam pergerakan pembaharuan, Hassan Hanafi menyebutkan bahwa, dalam memahami Alquran secara utuh,  diperlukan sebuah rangkaian sistematis yang membangun sebuah gagasan ide yang utuh yang disebut dengan metodologi penafsiran. Menurutnya metodologi turats (Tasawuf, fiqh, aqidah, filsafat dll), pada masa kini lambat laun telah pudar bahkan nyaris menghilang.[1] Hassan Hanafi menilai, hilangnya metodologi turast pada masa kini dikarenakan metodologi yang terdahulu tidak dapat memberikan sebuah solusi bagi umat. Karena selain metodologi disebut sebagai cara, metodologi pula harus dapat menjadi sebuah solusi yang dapat memberikan kemaslahatan umat.[2]

Pergerakan pembaharuan, mengantarkan Hassan Hanafi membawa sebuah gagasan yang berpusat pada ranah kemasyarakatan (Adab wa al-Ijtima’i). Menurutnya, Alquran adalah kitab kemanusiaan[3]. Karena sesuai dengan tujuan dari diturunkanya Alquran ialah tiada lain untuk manusia itu sendiri. Sehingga Hassan Hanafi merumuskan sebuah metode humanis yang disebut dengan tafsir eklektik.

Tafsir eklektik merupakan bagian dari corak adab al-Ijtima’I yang selama ini digembor-gemborkan sebagai metode modern-kontemporer. Hassan Hanafi menjelaskan bahwa metode eklektik ini merupakan sebuah metode penafsiran Alquran yang bermula dari hajat (keinginan) masyarakat yang menjadi unsur kebuTuhan penting, kemudian mufasir mengkonfirmasikan kebuTuhan masyarakat tersebut terhadap Alquran dengan menggunakan pendekatan tertentu sehingga pada akhirnya menjadi solusi untuk menjawab permasalahan kemanusian masa kini.

Dalam corak adab al-Ijtima’I, Hassan Hanafi memiliki delapan karakteristik[4]  penafsiran  yang dari keseluruhan karakteristik tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dalam menciptakan integritas sebuah metode tafsir eklektik, di antaranya :

1.                   Tafsir juz’iah

Metode ini merupakan salah satu karakteristik dari corak adab al-Ijtima’I yang memberikan penafsiran Alquran yang bersifat parsial, juz per juz bukan keseluruhan Alquran.[5] Hal itu karena, penafsiran Hassan Hanafi dimulai dengan memperhatikan kebuTuhan dan hajat kaum muslimin dan tuntutan mereka. Sehingga apa yang menjadi kebuTuhan mereka itulah pada akhirnya sebuah penafsiran itu ditujukan.

Apabila masyarakat memiliki kesulitan karena penjajahan yang mereka derita, maka ayat-ayat tentang jihad dan perang adalah ayat yang tepat untuk menjadi solusi bagi kesulitan mereka. Bukan dengan memberikan ayat-ayat tentang kehidupan yang lebih baik atau kemewahan hidup di dunia. Sehingga penafsiran pada ayat-ayat yang tepat sesuai dengan indikasi problem kemasyarakatan itulah akan tercipta kemaslahatan umat. Begitupun indikasi masyarakat yang ditimpa problem kemiskinan, kelaparan dan kesengsaraan, maka penafsiran tentang ayat-ayat kepemilikan universal, kekayaan, kemiskinan dan pengendalian perputaran harta di antara kaum hartawan serta memperthatikan hak-hak kaum miskin terhadap harta yang dimiliki oleh hartawan dari pada ayat-ayat tentang bab berdagang, bab keuntungan, bab rizki serta bab usaha. [6] 

Keseluruhan diagnosa terhadap problem kemasyarakatan selanjutnya dilakukan pengambilan makna dari Alquran yang sesuai dengan permasalahan itu sendiri yang kemudian disempurnakan arah dan tujuan yang dikehendaki ayat tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.

2.                   Maudhu’iyah (Tematik)

Sebuah metode yang menitik beratkan pada kepentingan kemasyarakatan terhadap makna pada sebuah peristiwa bukan merupakan tafsir yang bertele-tele akan tetapi,  Surat per- surat, juz per-juz, ayat per- ayat, lafadz per-lafadz dan huruf per -huruf yang di mulai dari surat al-fatihah, al-baqarah hingga surat al-‘alaq dan surat al-Nas. Menafsirkan apa yang diketahui dan apa yang tidak  diketahui, menafsirkan perkara yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan, tafsir yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Dan keseluruhan metode ini bertumpu pada kitab mu’jam mufahrosy li al-fadzil Alquran al-karim yang penafsiranya berdasarkan satu tema saja sesuai dengan  kebuTuhan umat[7].

Adapun langkah-langkah dari metode ini ialah :

1.      Membangun dasar susunan terhadap ayat dengan sistematika kebahasaan ketika menyebutkan tema-tema dalam penafsiranya seperti berdasarkan keadaan isim, atau Fi’il, dalam keadaan Marfu’, mansub atau Majrur, mua’annats atau mudzakar, mufrad atau jama, dan lain sebagainya. Kemudian menjelaskan penafsiran dari berbagai keadaan tersebut.

2.      Menganalisis makna-makna yang kemudian  mengklasifikasikan makna-makna tersebut terhadap prinsip kemanusiaan sehingga memungkinkan membangun tema-tema, perbedaan antara makna dasar dan makna bagian atau cabang, antara sisi positif dan sisi negatif, antara sisi  keTuhanan dan sisi kemanusiaan, antara maknawi atau Dzahiri, antara Individu atau kemasyarakatan sehingga memungkinkan mengetahui nalar wahyu di dalam prinsip tema tersebut.

3.      Memberikan Prioritas terhadap tema-tema yang berkaitan dengan keinginan zaman,  seperti, tema bumi, tema harta, tema Faqir, tema kekayaan, dan lain sebagainya dengan mengalihkan suara hati kita terhadap penentuan  penalaran dan penggambaran  terhadap analis krisis pada suatu masa.

4.      Menyusun keseluruhan tema-tema secara rasional dan akurat yang pada akhrinya bertujuan untuk memenuhi keinginan umat di dalam membahas metode yang berhubungan dengan penggambaran metode kehidupan, system kemasyarakatan dan Sistem Perpolitikan.

3.                  Tafsir Zamani (Temporal)

Ialah interpretasi yang tidak memiliki keterikatan dengan masa sebelumnya dan tidak membutuhkan generasi berikutnya. Artinya penafsiran itu hanya berpusat pada ketentuan tertentu yang dikehendaki oleh mufasir.[8] Misalnya, penafsiran 15 ayat pada akhir Alquran atau penafsiran 15 ayat pada awal Alquran yang memiliki kepentingan untuk membela kemanusiaan di setiap generasi. Maka dari itu tafsir ini bertujuan praktis bukan hanya bersifat teoritis. Sehingga kebenaran dalam interpretasinya adalah relatif. Sesuai dengan firman Allah SWT :

فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمۡكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ ١٧

Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS. Al-Ra’du [13] : 17)

 

4.            Tafsir Waqi’(Realitas)

Merupakan penafsiran yang dimulai dari kenyataan kaum muslimin, kehidupan dari segala problematikanya, krisis dan   kesengsaraan mereka bukan tafsir yang tercerabut dari masyarakat.[9] Sebab tidak mungkin wahyu memberikan segala Sesuatu yang tidak berarti dengan tanpa faidah. Akan tetapi pemahaman dan pemikiran manusialah yang terbatas dalam memahami ayat-ayat Allah. Tafsir Waqi’ tidak berbicara mengenai dunia islam secara umum, tidak berbicara hal yang tidak  terkait waktu dan zaman,  tidak  berbicara peristiwa  yang  melintasi realitas dan melintasi pemecahan masalah umat, serta tak berbicara mengenai Allah, karena Allah Maha Berdiri Sendiri, akan tetapi berbicara terkait pembelaan kaum muslim dari kenyataan ketertindasan.[10]

5.            Tafsir Bi al-Ma’na

Penafsiran yang berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang hurup dan kata. Hal ini karena wahyu pada dasarnya memiliki tujuan, orientasi dan kepentingan, yakni kepentingan masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiawi, rasional dan natural.[11]

6.                   Tafsir bi al-Tajrib al-Hayah (Eksperimental)

Penafisiran yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup penafsir. Sebuah penafsiran tidak mungkin terwujud tanpa memperoleh pendasaranya pada pengalaman mufasir yang bersifat eksistensial.[12]Akan tetapi menurut Hassan Hanafi, tafsir bukanlah sebuah profesi atau komonditas bukan pula perdagangan akan tetapi tafsir merupakan jawaban terhadap krisis pengetahuan, keraguan terhadap prilaku, pembahasan terhadap makna dan perubahan situasi. Disanalah ia mulai melihat bahwa tafsir sufi terlepas dari kekuranganya merupakan tafsir yag tulus (murni) yang dibangun berdasarkan pengalaman dan penelitian penafsirnya sendiri. Akan tetapi dibalik hal itu, menurut Hassan Hanafi penafsiran Sufi mesti mencerminkan reformasi dan revolusi terhadap perubahan sosial. [13]

7.                   Tafsir Rashdu Masyakil al-Waqi’ (Fokus Kontemporer)

Penafsiran yang menaruh perhatian terhadap problem kontemporer. Karena bagi Hassan Hanafi, seorang mufasir tidak dapat memulai penafsiranya tanpa didahului oleh perhatian atau penelitian akan masalah-masalah kehidupan.

8.                   Tafsir Al-Wad’u al-Ijtima’i (Posisi Sosial Penafsir)

Penafsiran yang memposisikan sosial penafsir dimana seorang mufasir menentukan secara sosial sekaligus menentukan corak penafsiran yang dilakukan seorang penafsir. Karena penafsiran merupakan bagian dari strukrtur sosial, apakah penafsir merupakan bagian dari golongan atas, menengah atau bawah.

Dari karakteristik itulah Hassan Hanafi merumuskan sistematika penafsiran. Yang mana tujuan dari penafsiran tersebut pada akhirnya ialah Maslahat al-Ummah (Kemaslahatan Umat).[1] 1) Komitmen Politik Sosial. Mufassir memiliki keprihatinan dan kepedulian atas kondisi kontemporernya,  karena baginya mufasir adalah revolusioner, reformis dan aktor sosial.2) Mencari sesuatu. Mufasir memiliki keberpihakan berupa kesadaran untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi. Disinilah Hassan Hanafi melihat bahwa asbab al-nuzul lebih pada realitas sosial masyarakat saat Alquran diturunkan. 3) Sinopsis ayat-ayat yang terkait pada satu tema. Semua ayat yang terkait pada tema-tema tertentu dikumpulkan secara seksama, dibaca, dipahami berkali-kali hingga orientasi umum ayat menjad nyata. Ia menegaskan bahwa penafsiran tidak berangkat dari ayat sebagaimana tafsir tahlili, akan tetapi dari kosa-kata Alquran. 4) Klasifikasi bentuk-bentuk linguistik, meliputi kata kerja, kata benda, kata kerja waktu, kata sifat kepemilikan dam lain-lain. 5) Membangun sturktur makna yang tepat sesuai dengan sasaran yang dituju yang berangkat dari makna menuju objek. Keduanya adalah satu kesatuan. Makna adalah objek yang subjektif, sedang objek adalah subjek yang objektif. 6) Analisis situasi faktual. Setelah membangun tema sebagai struktur yang ideal, penafsir beralih pada realitas faktual seperti kemiskinan, HAM, penindasan, dan lain-lain. 7) Membandingkan yang ideal dengan yang nyata. Struktur ideal dideduksikan dengan menggunakan analisis isi terhadap teks dengan situasi faktual yang diinduksikan dengan menggunakan statistik dan ilmu-ilmu sosial. Disinalah, letak dimana penafsir berada di antara teks dan realitas. 8) Deskripsi model-model aksi. Ketika ditemukan kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia nyata, maka aksi sosial menjadi langkah berikutnya. Transformasi dari teks ke aksi, teori ke praktik dan pemahaman menuju perubahan.



[1] Ahmad Baedowi, Tafsir Tematik Menurut Hassan Hanafi dalam M. Al-Fatih Suryadilaga, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran dan Hadis Vol. 10, No. 1, Januari 2009.,hlm. 43


[1]  Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. , hlm. 78

[2]  Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. hlm. 77

[3] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. Lihat pula  Ilham B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi. (Jakarta : Teraju, 2002).,hlm.150

 

[4] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri., hlm. 102

[5] B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi..,hlm.150

 

[6] B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi..,hlm.,hlm. 102-104

[7] Hassan Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. (Mesir : Maktabah Madbuli, 1987), hlm. 104-105

 

[8] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. (Mesir : Maktabah Madbuli, 1987), hlm. 106.,Lihat pula Ilham B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi. (Jakarta : Teraju, 2002).,hlm.150

[9] Hassan Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. ....hlm. 107.,Lihat pula Ilham B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi. (Jakarta : Teraju, 2002).,hlm.150

 

[10] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri. (, hlm. 107-108

[11] B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi..,hlm.150

[12] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri., hlm. 108-109.,Lihat pula B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi.,hlm.150

[13] Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Fi al-Mishri 1981-1952 7. Al-Yamin wa al-Yasar fi Al-Mishri., hlm. 108-109 .,Lihat pula B. Senong, Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir Alquran menurut Hasan Hanafi..,hlm.150

 

[14] Ahmad Baedowi, Tafsir Tematik Menurut Hassan Hanafi dalam M. Al-Fatih Suryadilaga, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran dan Hadis Vol. 10, No. 1, Januari 2009.,hlm. 43


Comments

Popular posts from this blog

Penafsiran Al-Qur'an Dr. Hassan Hanafi terhadap pengentasan kemiskinan

   Konsep Pengentasan Kemiskinan Dalam Tafsir Hassan Hanafi Hassan Hanafi membuka kesadaran manusia akan arti pentingnya kesejahteraan umat. Dalam pemikiranya, ia berkata bahwa setiap manusia mesti memiliki pola pikir mengada dalam dunia ( being in the world, aussein, in-der-welt-sein ) yang menunjukan adanya hubungan dengan kesadaran individu dengan alam, dunia benda-benda. [1] Kemiskinan merupakan salah satu problem kemasyarakatan yang secara realitas marak terjadi di berbagai belahan dunia yang semestinya menjadi kesadaran setiap individu. Sementara itu, pemikiran manusia hanya melahirkan gejolak yang baru yang hanya memecahkan masalah secara sepihak. Allah SWT telah menurunkan Alquran sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh manusia. Dan Alquran meliputi segala sesuatu. [2] Dengan demikian, Hassan Hanafi memberikan sebuah penafsiran Alquran yang bermula dari kenyataan umat manusia. Sehingga munculah sebuah penafsiran yang bertemakan harta ( mal ) sebagai salah satu konsep masla

MENGENAL TAFSIR IJMALI

A.     Definisi Tafsir Ijmali sebagai Metode Penafsiran Tafsir secara Bahasa mengikuti wazan taf’il , berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti kata kerja wazan daraba yadribu dan nashara yanshuru . Dikatakan fasara ( asy-syai’a ) yafsiru dan yafsuru , fasran dan fassarahu artinya abaanahu (menjelaskanya). Sehingga kata tafsir secara bahasa menurut Manna Qathan ialah menyingkap. [1] Sementara tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. [2] Sementara menurut Ali Ashabuni adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui penjel

Pandangan Mufassir Klasik hingga Modern terkait problem kemiskinan

Para mufasir telah memberikan penjelasan mengenai kemiskinan dalam Alquran. Salah satunya ialah seorang mufasir yang bernama Quraish syihab yang memiliki sebuah karya tafsir yang bernama Tafsir Al-Misbah .   Menurut Quraish syihab, kemiskinan merupakan orang yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya, dan diamnya itulah yang menyebabkan kefakiranya. [1] Menurutnya pula, terdapat ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang kemiskinan dan ayat-ayat tersebut bernada kritik so s ial, seperti yang terdapat QS. Al-An’am : 151 : ۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١ Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diha