Skip to main content

Tafsir Al-Qur'an Al-'Adzim serta Tafsir nya



Pada umumnya para penulis sejarah penafsiran Alqur’an menyebut kitab tafsir karya Ibnu Katsir ini dengan sebutan Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm. Sebagai bukti, al-Dzahabi dalam salah satu kitabnya, menulis tafsir Ibnu Katsir denga judul: Tafsîr al-Hâfizh Ibn Katsîr al-Musamma Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,[1] bahkan Muhammad ‘Ali al-Shâbûni dalam Mukhtashar-nya menyebut dengan tegas :
وقد وضع تفسيرا للكتاب الكريم سماه "تفيسر القرآن العظيم"
               Melalui pernyataan dua tokoh tersebut di atas, dapat disimpulkan  bahwa sebutan Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm diberikan oleh Ibnu Katsir.  Akan tetapi, sangat disayangkan, baik   al-Dzahabi maupun  al-Shâbûni tidak mencantumkan sumber-sumber utama yang  otentik sebagai rujukan, sehingga memunculkan keraguan di kalangan pengamat tafsir. Hal ini mengingat:
               Pertama, Ibnu Katsir, baik dalam kitab tafsir  maupun tarikh-nya tidak menyebut penamaan kitab tafsir yang ditulisnya, hal ini berbeda dengan tradisi  para penulis kitab lain, yang selalu menyebut dalam muqadimah-nya nama kitab yang ditulisnya, bahkan dalam tradisi penulisan kitab klasik, pemilihan nama suatu kitab begitu penting, tetapi tradisi semacam ini agaknya tidak diikuti oleh Ibnu Katsir dalam kaitan dengan penulisan kitab tafsirnya;
               Kedua, Tidak satu pun dari kitab-kitab biografi yang disusun para ulama klasik mencantumkan nama kitab tersebut di atas. Berbeda dengan penyebutan karya-karya Ibnu Katsir lain yang menyebut secara lengkap namanya, sementara penyebutan karya Ibnu Katsir dalam bidang tafsir ini, hanya datang dalam bentuk global saja. Sedemikian jauh, pernyataan yang relatif lugas diberikan oleh Ibn Taghri Bardi dengan kata-kata: [2]
قلت : ومن مصنفاته "تفسير القرآن الكريم" فى عشر مجلدات
Namun demikian, penyebutan Taghri Bardi ini belum memberikan kepastian, apakah Tafsir al-Qur’ân al-Karîm ini merupakan nama kitab Ibnu Katsir ataukah kalimat biasa saja tanpa mengandung makna. Jika memang benar sebutan kitab itu, maka nama ini berbeda dengan nama yang populer di kalangan para ulama.
               Ketiga, Tidak semua kitab tafsir Ibnu Katsir yang diterbitkan muncul dengan judul yang populer itu, karena ada juga tafsir Ibnu Katsir yang diterbitkan dengan judul: Tafsir Ibnu Katsîr. Demikian pula, A.M. Syakir dalam pendahuluan Ikhtisar-nya, ‘Umdah al-Tafsîr, sama sekali tidak menyebut-nyebut nama tersebut.
               Berdasarkan ketiga alasan tersebut di atas, tidak berlebihan apabila dinyatakan bahwa penyebutan nama kitab Ibnu Katsir itu  muncul pada masa-masa akhir awal abad ke dua puluh, sehingga ada kemungkinan,   judul kitab tafsir Ibnu Katsir tersebut diberikan oleh penulis manuskrip (khaththath), atau bahkan tidak mustahil diberikan oleh penerbit kitab tersebut. Memang betul, Ibnu Katsir berkemungkinan juga memberikan judul kitab-nya itu, apalagi kitab ini merupakan salah satu karya besarnya,  tapi belum terlacak dari sumber aslinya. Karena  itu, selama penyebutan yang sudah populer itu belum didapatkan secara otentik, maka tidak ada keharusan untuk menerima begitu saja penyebutan kitab Ibnu Katsir tersebut.  Namun demikian, terlepas dari berbagai kemungkinan dalam mendiskusikan penyebutan kitab tersebut, suatu hal yang sudah menjadi konsensus bahwa perbedaan penamaan di atas, sama sekali tidak menyentuh dari kitab tafsir itu sendiri.

b. Sistematika Penyusunan dan Metode Penafsiran
               Sistematika penyusunan tafsir yang dikenal di kalangan ahli tafsir ada tiga macam, yaitu: (1)  penyusunan kitab tafsir Alqur’an sesuai dengan tartib susunan ayat-ayat dalam mushhaf, ayat demi ayat dan surat demi surat. Sistematika yang banyak ditempuh dalam kitab-kitab tafsir ini disebut juga sistematika tartib mushhafi; (2), sistematika penafsiran Alqur’an berdasarkan urutan kronologis penurunan ayat-ayat Alqur’an, seperti yang dilakukan oleh Muhammad ‘Izzah Darwazah dalam kitabnya, al-Tafsîr al-Hadîts. Sistematika semacam ini disebut tartib nuzûli. (3), sistematika penafsiran Alqur’an berdasarkan tema-tema pokok permasalahan yang dibahas, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an yang membicarakan sesuatu tema tertentu dan menempatkan dalam suatu judul tertentu pula yang kemudian ditafsirkan dengan penafsiran yang mengikuti manhaj mawdhû’i. Sistematika ini disebut sistematika mawdhû’i. [3]
               Dengan memperhatikan pengertian masing-masing sistematika di atas, maka tampak dengan jelas  bahwa penafsiran Ibnu Katsir telah menempuh sistematika mushhafi. Dalam kaitan ini, Ibnu Katsir telah menyelesaikan penafsiran seluruh ayat Alqur’an menurut tartib urutan ayat-ayat Alqur’an dalam mushhaf, yang dimulai dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs. Di samping itu, sebagaimana sudah dijelaskan, sebelum menafsirkan Alqur’an, Ibnu Katsir menjelaskan prinsip-prinsip penafsiran pada muqadimmah, yang sebagian besar kupasannya merupakan kutipan dari tulisan Ibnu Taymiyyah.
               Dalam Penafsiran Alqur’an menurut tartib mushhafi ini, Ibnu Katsir menempuh cara pengelompokan ayat-ayat yang berada di suatu tempat yang masih dalam satu konteks pembicaraan. Cara semacam ini telah ditempuh oleh para mufassir sebelumnya, seperti al-Qurtubi (w. 671 H)  dalam, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân.  Hal ini berbeda dengan al-Thabâri yang tidak mengenal pengelompokan ayat tersebut. Menurut hemat penulis, cara yang dipilih Ibnu Katsir di atas lebih baik dalam memberikan kemudahan bagi para pembacanya. Karena itu, wajar bila cara ini dipilih oleh mufassir-mufassir lain, seperti al-Sayyid Muhammad Ridha, Ahmad Musthafa al-Marâghi dan Jamâl al-Dîn al-Qâsimi.
                 Selenjutnya, untuk mengetahui metode (manhaj) penafsiran yang ditempuh Ibnu Katsir, terlebih dahulu perlu dikemukakan pandangan al-Firmawi, yang menyatakan, metode penafsiran yang ditempuh para mufassir dibagi menjadi empat macam. Pertama, manhaj tahlili. Dengan manhaj ini, mufassir menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam Alqur’an secara tartib mushhafi dan mengungkapkan seluruh pengertian yang ditujunya dengan meneliti kata per kata, kalimat per kalimat, menyingkap munasabah ayat dan memanfaatkan bantuan sabab al-nuzûl, hadis-hadis Nabi, riwayat-riwayat dari sahabat dan tabi’in dalam mengungkap petunjuk ayat tersebut.  Manhaj tahlili ini memiliki corak dan orientasi yang berbeda-beda, sesuai dengan pemikiran dan keahlian para mufassir. al-Firmawi memilah corak dan orientasi ini ke dalam tujuh kategori, yaitu: tafsîr bi al-ma’tsûr, tafsîr bi al-ra’y, tafsir al-shûfi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-falsafi, tafsir al-‘ilmi dan tafsir adâb al-ijtimâ’i.
               Kedua, manhaj Ijmâli. Dengan manhaj ini, mufassir menjelaskan ayat-ayat Alqur’an dengan mengupas makna ayat-ayat  secara gelobal dengan mengikuti sistematika mushhafi, yang dalam penjelasannya disertai pula  dengan sabab al-nuzûl, hadits Nabi dan riwayat ulama salaf yang ringkas, seperti Tafsir al-Qur’ân sal-Karîm, karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir al-Wajîz, karya Wahbah al-Zuhayli, dan Tafsir al-Jalâlayn karya al-Jalâl al-Mahalli dan al-Jalâl al-Suyûthi.
              Ketiga, manhaj muqâran. Dengan manhaj ini, mufassir menjelaskan ayat-ayat Alqur’an berdasarkan apa yang ditulis oleh sejumah mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat yang terdapat pada suatu tempat dalam Alqur’an yang diikuti dengan telaahan terhadap pendapat para mufassir tentang ayat itu. Pendapat-pendapat itu kemudian dikomparasikan sedemikian rupa, sehingga tampak dengan jelas segi-segi persamaan dan perbedaannya  serta latar belakang pemikiran dan kecenderungan masing-masing mufassir.[4] 
               Keempat, manhaj mawdhû’i, yang merupakan kelanjutan sistematika mawdhû’i yang dikemukakan di atas. Dengan manhaj ini, mufassir mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu tema tertentu sesuai dengan urutan kronologisnya, dengan memperhatikan sabab al-nuzûl masing-masing ayat, kemudian dilakukan kajian dari berbagai aspek secara utuh, sehingga diperoleh pandangan Alqur’an yang sempurna mengenai tema itu.  Mahmud Syaltut memandang manhaj ini sebagai al-Tharîqah al-Mutsla.[5]
               Dengan mencermati  klasifikasi yang dikemukakan al-Firmawi di atas, maka akan menjadi jelas bagi setiap pembaca tafsir Ibnu Katsir, bahwa tafsir yang ditempuh Ibnu Katsir tersebut menggunakan metode (manhaj) tahlili, sementara corak dan orientasi yang mewarnai metode tahili Ibnu Katsir ini adalah tafsir bi al-ma’tsûr, yakni menafsirkan ayat Alqur’an dengan ayat Alqur’an yang lain atau hadis-hadis Nabi atau riwayat-riwayat para sahabat dan tabi’in. 
               Dalam kaitan ini, perlu dijelaskan bahwa pengklasifikasikan suatu kitab tafsir ke dalam kelompok tafsir bi al-ma’tsûr, bukan berarti seluruh penafsirannya berdasarkan riwayat dan  menutup kemungkinan bagi para penulis tafsir itu untuk memasukan unsur-unsur lain selain riwayat, seperti kupasan bahasa dan istinbâth hukum dalam kitab tafsirnya. Karena hal itu sulit dihindarkan, bahkan kitab tafsir al-Thabâri sendiri yang kitab  tafsirnya dinyatakan secara bulat sebagai rujukan tafsir bi al-ma’tsûr  ternyata tidak dapat menghindarkan diri dari penggunaan daya nalar-nya, terutama ketika melakukan istinbâth hukum  dan tarjîh di antara berbagai pendapat. Demikian pula dengan Ibnu Katsir, yang dilekatkan pada tafsirnya sebagai tafsîr bi al-ma’tsûr  ternyata tidak menghalanginya untuk melakukan penalaran semacam itu. Jika memang demikian masalahnya, maka penamaan suatu kitab sebagai kitab tafsir bi al-ma’tsur, menurut Husayin al-Dzahabi hanyalah didasarkan atas pertimbangan dominasi riwayat dalam kitab tafsir itu yang sangat menonjol, atau dengan meminjam ungkapannya, pengelompokan semacam itu hanyalah min bâb al-taghlîb. [6]
               Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang beberapa masalah yang menyangkut manhaj penafsiran Ibnu Katsir, maka uraian berikut ini tampaknay akan sangat membantu.
                 
      a).  Penafsiran Alqur’an Dengan Alqur’an Dan Hadis
               Dalam pendahuluan tafsirnya, Ibnu Katsir menegaskan bahwa Penafsiran Alqur’an dengan Alqur’an merupakan cara penafsiran yang paling shahih, karena sesuatu yang dikemukakan secara global pada suatu ayat, akan dujumpai penjelasannya pada ayat lain. Akan tetapi, jika kemudian usaha tersebut tidak berhasil, maka dicari penjelasan itu dalam Sunnah Rasul. Pola penafsiran ini, di samping berdasarkan pada penegasan Alqur’an dan hadis-hadis Nabi, juga didasarkan pada pertimbangan bahwa Sunnah Rasul pada hakekatnya merupakan wahyu juga, seperti Alqur’an, hanya saja kalau sunnah merupakan wahy ghayr matluw, sedangkan Alqur’an merupakan wahy matluw. Penegasan Ibnu Katsir ini, merupakan pernyataan yang isi dan kata-katanya sama dengan yang ditegaskan Ibnu Taymiyyah.[7]
               Sesuai dengan penegasan di atas, Ibnu Katsir berupaya keras menghimpun ayat-ayat yang menunjuk kepada pengertian yang dimaksud dari ayat-ayat yang ditafsirkan atau menopang ayat itu. Pola penafsiran ini, menurut A.M. Syakir merupakan keistimewaan pertama Ibnu Katsir yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab tafsir lain.  Pernyataan A.M. Syakir tersebut, tampaknya berlebihan, karena kitab-kitab tafsir lain melakukan juga penafsiran semacam itu, hanya saja intensitas perhatian Ibnu Katsir sangat dominan dibandingkan dengan mufassir lain. Dalam konteks ini, pernyataan Sayyid Rasyid Ridha lebih bisa diterima, yang menyatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab tafsir yang paling banyak mengetengahkan ayat-ayat yang mengandung persesuaian arti.[8]
               Berdasarkan penegasan para pengamat di atas dan didukung oleh kenyataan yang dapat disaksikan dalam rangkaian penafsirannya, maka berikut ini  akan dikemukakan contohn sederhana.   Ketika  menafsirkan surat al-Baqarah, ayat 2, yang berbunyi:

maka Ibnu Katsir menyatakan bahwa dikhususkannya orang-orang yang beriman  menerima manfaat  hidayat ini adalah karena Alqur’an itu sendiri sebagai huda, akan tetapi huda ini hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang baik. Dalam rangka memperkuat penafsiran ini, Ibnu Katsir membawakan tiga ayat lain, yaitu : QS. Al-Fushilat : 44, QS. Al-Isra : 82 dan Al-Baqarah : 185. Sejalan dengan pengkhususn hidayah Alqur’an hanya untuk orang-orang beriman saja, maka dapat dipahami, ketika menghadapai kalimat : hudan li al-nâs,  pada ayat 185 surat al-Baqarah, Ibnu Katsir mengkhususkan pengertian al-nâs hanya untuk manusia yang beriman. Selanjutnya, ia mengatakan: [9]
هذا مدح للقرآن الذى أنزله الله هدى لقلوب العباد ممن آمن به وصدقه واتبعه

                  Adapun dalam kaitannya dengan kata huda sendiri, Ibnu Katsir mengemukakan dua pengertian: (1)  huda dalam arti iman yang meresap dalam kalbu. Huda dalam pengertian ini tidak dapat diberikan oleh siapa pun selain Allah, sesuai dengan firman Allah SWT dalam berbagai ayat Alqur’an, antara lain : QS. Al-Qasash : 52, QS. Al-Baqarah : 282, Al-‘Araf : 182, dan Al-Kahfi : 17, yang salah satu ayat nya berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ 
282.  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 282)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan otoritas Allah dalam memberikan hidayah kepada para hamba yang dipilih-Nya; (2)  huda dalam arti menjelaskan kebenaran, memberikan petunjuk tentang kebenaran dan membimbing ke arah kebenaran, sesuai dengan firman Allah SWT dalam ayat-ayat  berikut ini: [10]

52.  Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. As-Syura : 52)

7.  Orang-orang yang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. (QS. Ar-Ra’du : 7)

17.  Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Fushilat : 17)

10.  Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, (QS. Al-Balad : 10)
Berkaitan dengan hadis sebagai penafsir Alqur’an, kesungguhan Ibnu Katsir tampak dengan jelas, apalagi jika diingat, ia adalah ahlinya. Sebagai contoh, ketika menghadapi ayat 160 surat al-An’âm:
مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجۡزَىٰٓ إِلَّا مِثۡلَهَا وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ 
160.  Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Setelah Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan rincian (tafsil) atas   penjelasan ayat yang global (mujmal)  pada ayat 84  surat al-Qashash yang berbunyi:
مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ خَيۡرٞ مِّنۡهَاۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجۡزَى ٱلَّذِينَ عَمِلُواْ ٱلسَّئَِّاتِ إِلَّا مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ 
84.  Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.

maka Ibnu Katsir menyajikan tiga buah hadis sebagai penguat bagi penafsirannya.  Demikian pula, ketika menafsirkan firman Allah, surat al-Hujurât, ayat 12  yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ 
12.  Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Ibnu Katsir membawakan pengertian ghîbah menurut penegasan Rasul dalam  sabdanya: [11]
ذكرك أخاك بما يكره
Mengingat Ibnu Katsir adalah seorang ahli dalam seluk beluk ilmu hadis, maka tidak mengherankan, apabila ia cermat menangkap kelemahan-kelemahan sesuatu hadis. Sebagai contoh ketika menghadapi penafsiran ayat 251 surat al-Baqarah:
فَهَزَمُوهُم بِإِذۡنِ ٱللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُۥدُ جَالُوتَ وَءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ٱلۡمُلۡكَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَعَلَّمَهُۥ مِمَّا يَشَآءُۗ وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم بِبَعۡضٖ لَّفَسَدَتِ ٱلۡأَرۡضُ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ ذُو فَضۡلٍ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ 
251.  Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.

Ibnu katsir membawakan dua hadis yang diriwayatkan Ibnu Jarîr al-Thabâri, tetapi kedua hadis tersebut dikritik habis-habisan, dengan kata-kata  : [12]
وهذا إسناد ضعيف فإن يحيى بن سعيد هذا هو ابن عطار الحمصى وهو ضعيف جدا




[1] Husayn al-Dzahabi, al-Isrâiliyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, (Kairo: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1971 M), h. 179, bandingkan  dengan Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, h. 242, Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut:  Mansyûrat al-‘Ashr al-Hadîts, 1973 M), h. 365, ‘Ali al-Shâbûni, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 213, dan ‘abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Mawdhû’i, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1976 M), h. 20
[2] Ibnu Taghri Bardi, al-Nuzum al-Zâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah,  XI, h. 123
[3] Lihat J.J.G Jansen, The Interpretation of the Koran in Moden Egypt  (Leiden:   E.J. Brill, 1974 M), h. 17, dan lihat juga keterangan, ‘Abd al-Hayy al-Firmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû’i, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1976 M), h. 41
[4] Lihat penjelasan lengkap pada, Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998 M), h. 1-8
[5] al-Firmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû’i, h. 18, 20,  34-35, dan 41-42. Husayn al-Dzahabi menggunakan istilah al-lawn al-fiqhi, al-lawn al-falsafi dan seterusnya. Lihat kitab  al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, II, h. 432,   dan bandingakan dengan ‘Abd al-Sattâr Fath Allâh Sa’id, al-Madkhal ilâ Tafsîr al-Mawdhû’i, (t.t.p: Dâr al-Thabaâh al-Nasyr al-Islâmiyah, 1987 M), h. 40-67
[6] Husayin al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, h. 246
[7] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, I, h. 4, lihat pula Ibnu Taymiyyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr,   h. 93-94
[8]A.M. Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr ‘an al-Hâfidh ibn Katsîr, I, h. 8; lihat pula, Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 387
[9] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I, h. 217
[10] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I, h. 41
[11] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, II, 197, dan Juz IV, h. 214
[12] Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,  I,  h. 304

Comments

Popular posts from this blog

Penafsiran Al-Qur'an Dr. Hassan Hanafi terhadap pengentasan kemiskinan

   Konsep Pengentasan Kemiskinan Dalam Tafsir Hassan Hanafi Hassan Hanafi membuka kesadaran manusia akan arti pentingnya kesejahteraan umat. Dalam pemikiranya, ia berkata bahwa setiap manusia mesti memiliki pola pikir mengada dalam dunia ( being in the world, aussein, in-der-welt-sein ) yang menunjukan adanya hubungan dengan kesadaran individu dengan alam, dunia benda-benda. [1] Kemiskinan merupakan salah satu problem kemasyarakatan yang secara realitas marak terjadi di berbagai belahan dunia yang semestinya menjadi kesadaran setiap individu. Sementara itu, pemikiran manusia hanya melahirkan gejolak yang baru yang hanya memecahkan masalah secara sepihak. Allah SWT telah menurunkan Alquran sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh manusia. Dan Alquran meliputi segala sesuatu. [2] Dengan demikian, Hassan Hanafi memberikan sebuah penafsiran Alquran yang bermula dari kenyataan umat manusia. Sehingga munculah sebuah penafsiran yang bertemakan harta ( mal ) sebagai salah satu konsep masla

MENGENAL TAFSIR IJMALI

A.     Definisi Tafsir Ijmali sebagai Metode Penafsiran Tafsir secara Bahasa mengikuti wazan taf’il , berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti kata kerja wazan daraba yadribu dan nashara yanshuru . Dikatakan fasara ( asy-syai’a ) yafsiru dan yafsuru , fasran dan fassarahu artinya abaanahu (menjelaskanya). Sehingga kata tafsir secara bahasa menurut Manna Qathan ialah menyingkap. [1] Sementara tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. [2] Sementara menurut Ali Ashabuni adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui penjel

Pandangan Mufassir Klasik hingga Modern terkait problem kemiskinan

Para mufasir telah memberikan penjelasan mengenai kemiskinan dalam Alquran. Salah satunya ialah seorang mufasir yang bernama Quraish syihab yang memiliki sebuah karya tafsir yang bernama Tafsir Al-Misbah .   Menurut Quraish syihab, kemiskinan merupakan orang yang tidak memiliki sesuatu untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya, dan diamnya itulah yang menyebabkan kefakiranya. [1] Menurutnya pula, terdapat ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang kemiskinan dan ayat-ayat tersebut bernada kritik so s ial, seperti yang terdapat QS. Al-An’am : 151 : ۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١ Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diha