Ibnu Katsir
nama lengkapnya adalah ‘Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ Isma’il ibn al-Khâthib Syihâb
al-Dîn Abî Hafash ‘Amr ibn Katsîr al-Qurasyiy al-Syâfi’i. Ia lahir di desa
Mijdal yang masuk dalam wilayah Bushra,
sehingga pada dirinya diletakan predikat, al-Bushra. Demikian pula,
predikat al-Dimisqi sering diletakan
pada dirinya. Hal ini mungkin, Bushra termasuk wilayah Damaskus, atau
mungkin pula, Ibnu Katsir, sejak masa kanak-kanak atau remaja telah berpindah
tempat dan menetap di Damaskus.
Kemungkinan kedua ini sejalan dengan keterangan Ibnu ‘Imâd dalam Syadzrât al-Dzahab yang menyebut
Ibnu Katsir dengan al-Bushri Tsumma al-Damasqi.[1]
Adapun tentang kelahiran Ibnu
Katsir, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para penulis Biografi. Ibnu
‘Imâd memastikan tahun 700 H sebagai tahun kelahiran Ibnu Katsir. Pendapat ini
dipegangi oleh sebagian besar penulis biografi Ibnu Katsir.[2] Sementara itu, Ibnu Taghri Bardi memilih
tahun 701 H.[3] Pendapat ini diikuti oleh C. Brockelmann dalam Dâirah al-Ma’ârif
al-Islâmiyyah.[4]
Di samping dua pendapat di atas,
terdapat pendapat tokoh lainnya, seperti B. Lewis. Menurut Lewis, kelahiran
Ibnu Katsir di sekitar tahun 700 H, atau sekitar tahun 1300 M.[5]
Demikian pula, al-Dzahabi melaporkan
tahun 700 H atau sesudahnya sebagai kelahiran Ibnu Katsir. Pendapat ini dipegangi juga oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dalam kitabnya, al-Durar
al-Kâminah fî A’ayân al-Tsâminah.[6]
Perbedaan pendapat dan
ketidakpastian ini, nampaknya bertolak dari ketikdakpastian informasi yang
diberikan oleh Ibnu Katsir sendiri, ketika ia mengupas biografi ayahnya, dengan
kata-kata:
توفي والدي فى شهر
جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعمائة وكنت إذ ذاك صغيرا ابن ثلاث سنين أو نحوها لا أدركها
إلا كالحلم
Dari keterangan Ibnu Katsir di
atas, Ahmad Muhammad Syakir memperkuat pendapat yang menetapkan
tahun 700 H atau bahkan sebelum itu, karena jika kelahiran Ibnu Katsir terjadi
pada tahun 701 H, berarti usia Ibnu Katsir ketika ayahnya wafat belum mencapai
tiga tahun, sedangkan usia anak yang belum mencapai tiga tahun, tampaknya sulit
untuk dapat mengenang suatu peristiwa sebagai dalam mimpi.[7] Terlepas dari perbedaan di atas, suatu hal
yang pasti dapat disepakati semua pihak adalah Ibnu Katsir lahir sekitar akhir
abad ke tujuh hijriyah dan awal abad ke delapan hijriyah.
Menarik pula untuk disimak di
sini adalah latar belakang pemberian nama Ismâ’il pada diri Ibnu Katsir. Dalam
kitab, al-Bidâyah wa al-Nihâyah,
Ibnu Katsir menceritakan bahwa ayahnya telah menikah sebanyak dua kali. Dari
istri pertama, telah lahir tiga orang putra, berturut-turut namanya, Ismâ’il,
Yunus dan Idris, sedangkan dari istri kedua, yang dinikahinya sesudah meninggal
istri pertamanya, lahir beberapa orang putra dan putri, yang tertua namanya
‘Abd al-Wahhâb dan yang paling bungsu adalah Ibnu Katsir sendiri. Nama Ismâ’il
diberikan oleh ayahnya sendiri kepada
Ibnu Katsir, untuk mengenang dan mencari pengganti putra tertua yang sangat
disayangi, Ismâ’il, yang meninggal karena kecelakaan di Damaskus pada saat
Ismâ’il telah menunjukkan kebolehannya dalam penguasaan ilmu-ilmu agama.
Meninggalnya Ismâ’il sangat berat dirasakan oleh ayahnya. Kemudian Ibnu Katsir
menulis tentang akibat kematian itu dengan kata-kata:
فوجد الوالد عليه
وجدا كثيرا ورثاه بأبيات كثيرة, فلما ولدت له أنا بعد ذلك سمانى باسمه, فأكبر
أولاده إسماعيل وآخرهم وأصغرهم إسماعيل, فرحم الله من سلف وختم بخير لمن بقى.
Berkaitan dengan keluarganya,
Ibnu Katsir menerangkan bahwa ayahnya berasal dari keturunan keluarga terhormat,
dan seorang ulama terkemuka pada masanya yang pernah mendalami fikih madzhab
Hanafi, walaupun akhirnya sesudah menjadi khatib di Bushra, ia menganut madzhab
Syafi’i. Kemudian, Salah seorang
gurunya, yang kelak menjadi mertuanya, yakni al-Hâfizh al-Mizzi, memperlihatkan
rasa kagumnya setelah mengetahui
sebagian daftar garis keturunan Ibnu Katsir, sehingga ia tuliskan atribut al-Qurasyiy
di belakang nama Ibnu Katsir.
b. Aktif itas
Ibnu Katsir Dalam Menimba Ilmu
Sebagaimana telah disinggung di
muka, bahwa Ibnu Katsir telah ditinggal
wafat oleh ayahnya pada usia yang masih kanak-kanak. Hal ini berarti, semasa
ayahnya masih hidup, Ibnu Katsir belum siap untuk menerima didikan keilmuan
langsung dari ayahnya, sebagaimana umumnya dialami oleh putra-putra ulama pada masanya. Tetapi walaupun demikian,
peran yang tak sempat dimainkan oleh sang ayah ini, ternyata telah dapat
dimainkan oleh kakak kandungnya, Kamâl al-Dîn al-Wahhâb. Sebagaimana dituturkan
sendiri oleh Ibnu Katsir, di bawah bimbingan kakak kandung inilah, ia mulai meniti
tangga karir keilmuan untuk pertama
kalinya, menyusul kepindahan mereka ke Damaskus pada tahun 707 H.[8]
Kegiatan Mencari ilmu ini,
kemudian dilakukannya dengan lebih serius dan intens di bawah pembinaan dan pendidikan
ulama terkemuka pada masanya. Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan, bahwa di
masa-masa pemerintahan Dinasti Mamluk di mana Ibnu Katsir hidup, pusat-pusat
studi Islam seperti masjid-masjid, madrasah-madrasah dan maktab-maktab
berkembang pesat. Perhatian para aparat pemerintah pusat pada masa itu di Mesir
maupun di Damaskus sangat besar. Terlepas apakah perhatian yang begitu besar
dari pemerintah tersebut untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan atau ada
motif-motif tertentu.
Dalam mendalami bidang studi
hadits, ketekunan Ibnu Katsir tampak sangat antusias dan serius. Di samping, ia
meriwayatkan hadis secara langsung dari para huffâdh terkemuka di masanya,
seperti al-Syeikh Najm al-Dîn in al-‘Asqalâni dan Syihâb al-Dîn al-Hajjar yang
lebih dikenal dengan panggilan Ibn al-Syahnah, seorang ahli hadis dari Dâr
al-Hadîts al-Asyrafiyyah, ia pun mendalami bidang rijâl al-hadîts di
bawah bimbingan al-Hâfidh al-Kabîr Abû al-Hajjâj al-Mizzi, penulis kitab Tahdzîb
al-Kamâl, sebuah kitab standar dalam bidang rijâl al-hadîts. Kelihatannya,
keuntungan yang diperoleh Ibnu Katsir
dari guru besarnya, al-Hâfidh al-Mizzi ini, tidak hanya terbatas pada
masalah keilmuan saja, akan tetap juga menyangkut istri pendamping hidupnya
kelak, dengan keberhasilannya mempersunting Zainab, putri kesayangan al-Mizzi sebagai istrinya.[9]
Demikian pula, perhatian Ibnu
Katsir terhadap bidang studi fikih. Dalam hal ini, ada dua orang guru
terkemuka yang membimbingnya, yakni
al-Syeikh Burhân al-Dîn al-Fazari dan Kamâl al-Dîn ibn Qâdhi Syuhbah. Kitab al-Tanbîh karya al-Syairazi, sebuah kitab furu’ madzhab
al-Syafi’i dan Mukhtashar ibn al-Hâjib dalam bidang studi ushul fikih
telah selesai dihafalnya. Di samping itu, ada dua bidang studi keilmuan yang
justru paling besar artinya dalam mengangkat pamor Ibnu Katsir sebagai ilmuwan
yang terkenal di seluruh dunia Islam pada masa-masa sesudahnya. Kedua bidang
studi itu adalah studi sejarah dan tafsir Alqur’an. Dalam bidang sejarah, peran
al-Hâfidh al-Birzali (w. 739 H) yang oleh Ibnu Katsir disebut sebagai Muarrikh
al-Syam cukup besar, bahkan dalam mengupas peristiwa-peristiwa yang terjadi
sampai tahun 738 H, seperti yang
dinyatakan Brocklmann, Ibnu Katsir
berpegangan pada kitab Târîkh karya al-Birzali. [10]
Dalam mendalami bidang studi
Alqur’an dan tafsir, perhatian Ibnu Katsir sangat terlihat sejak masa awal
kegiatan belajarnya. Dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, ia menegaskan bahwa
pada tahun 711 H, ia telah menyelesaikan hafalan Alqur’an, dan dilanjutkan
dengan memperdalam ilmu qira’at. Sedangkan mengenai studi tafsir, tidak
diperoleh keterangan langsung dari Ibnu Katsir tentang guru-guru yang
membimbingnya, tetapi berdasarkan uraiannya dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah,
tampak dengan jelas bahwa ia biasa menghadiri kuliah-kuliah yang disajikan oleh
Syeikh al-Islâm ibn Taymiyyah. Mungkin dari kuliah-kuliah inilah, Ibnu Katsir
mendapatkan bekal ilmu tafsir, di samping dari kuliah-kuliah para ulama yang
lain. Kenyataan ini dibuktikan dengan sebagian besar materi muqadimah
tafsir Ibnu Katsir yang mengupas prinsip-prinsip penafsiran, merupakan kutipan
langsung dan utuh dari tulisan Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, Muqaddimah fî
Ushûl al-Tafsîr.[11]
Keadaan ini lebih meyakinkan lagi apabila dikaitkan dengan kekaguman dan
kecintaan Ibnu Katsir kepada Ibnu Taymiyyah sebagai salah seorang gurunya,
sebagaimana dipaparkan berikut ini.
[1] Ibn
Taghri Bardi. al-Nujûm al-Zâhirah fî Mulûk
Mishr wa al-Qâhirah, XI, (Kairo: Wijârah al-Tsaqâfah, t.t.) h. 123.
Bandingkan dengan Syams al-Dîn al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâdz, IV
(Hyderabad-Decan: The Dairatul Ma’arifil Osmania, 1958 M), h. 1508. Lihat pula,
Ibnu ‘Imâd, Sadzarât al-Dzahab fî Akhbâr man Dzahab, VI, (Beirut:
al-Maktab al-Tijâri, t.t), h. 231
[2]Lihat Ibnu ‘Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr
man Dzahab, VI, (Beirut: al-Maktab al-Tijâri, t.t), h. 231. A.M. Syakir, ‘Umdah
al-Tafsîr ‘an al-Hâfidh ibn Katsîr, h.22. Bandingkan dengan, Husayin
al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, (t.t.p.: t.n.p. 1976 M), h.
242
[3] Ibn Taghri Bardi.
al-Nujûm al-Zâhirah fî Mulûk Mishr wa
al-Qâhirah, Juz,X I, h. 123
[4] Ibrahim ZakyKhursid dkk, Dâ’irah al-Ma’arif al-Islâmiyyah,
I, (Kairo: Dâr al-Sya’b, t.th), h. 378
[5] B. Lewis dkk, (ed.), The Ecyclopaedia of Islam, III, h. 817
[6] Ibnu
Taghri Bardi, al-Nuzum al-Zâhirah fî
Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, XI,
h.123. Ibrâhim Zaki Khursyid dkk (ed.), Dâirah al-Ma’ârif al-Islâmiyyah,
h. 378; B. Lewis, The Encyclopaedia of
Islam, III. h. 817, al-Dzahabi, Tadzkirah
al-Huffâdh, IV, h. 1508, d an
dikutip A.M. Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr
‘an al-Hâfidh Ibn Katsîr, I, h. 22
[7] Ibnu
Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, XIV, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h.
32, dan A.M. Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr
‘an Hâfidh ibn Katsîr, h. 23
[8] Ibnu
Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, XIV,
h.46. Berdasarkan informasi Ibnu Katsir sendiri tahun kepindahan dirinya
ke Damaskus ini, maka keterangan Ibn ‘Imâd dan H. Loust yang menunjuk tahun 706
atau 1306 M sulit untuk diterima. Lihat, Ibn ‘Imâd, Syadzarât al-Dzahab,
VI, h. 231, dan B. Lewis, The Ecyclopaedia of Islam, III, h. 817.
Pendapat lemah ini dijumpai juga dalam
karya, al-Hâfidz al-Husayni, Dzayl Tadzkirah al-Huffâdh li al-Dzahabi, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi,
t.t). h.57
[9] Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihâyah,
XIV, h. 192, dan A.M. Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr ‘an Hâfidh ibn Katsîr,
I, h. 25. Penyebutan Zainab begitu tegas
dinyatakan, ketika Ibnu Katsir menulis obituari guru besarnya, al-Hâfidh
al-Mizzi.
[10] Ibnu
Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, XIV, h. 25 dan 185. Lihat juga, Ibrahim Zaki Khursyid, Dâirah
al-Ma’ârif al-Islâmiyyah, I, h. 379
[11] Ibnu
Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, XIV, h. 312, bandingkan dengan A.M.
Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr ‘an Hâfidh ibn Katsîr, I, h. 24. Adapun
bukti-bukti pengambilan Ibnu Katsir dari Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr Ibnu Taymiyyah secara utuh ini
menjadi nampak jelas, lewat perbandingan antara: Ibnu Taymiyyah, Muqaddimah
fî Ushûl al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971 M), h. 93-115,
dengan Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984 M),
I, h. 4-7. Kenyataan ini telah ditegaskan pula oleh Dr. Adnan Zarzur,
penyunting kitab Muqaddimah, pada pengantar buku itu dan oleh Husayin
al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
I, h. 244
Comments
Post a Comment