Dalam studi ilmu hadis, prestasi
yang dicapai Ibnu Katsir cukup istimewa, sehingga pada tahun 750 H atau 1349 M,
ia dikukuhkan sebagai pimpinan perguruan tinggi hadits Umm al-Shâlih dan
al-Tankiziyyah, menggantikan al-Dzahabi. Peristiwa ini disebut juga oleh al-Dzahabi dalam Tadzkirah
al-Huffâzh. al-Dzahabi sendiri yang sebenarnya dari segi usia lebih pantas
untuk diposisikan sebagai salah seorang gurunya, menyebut Ibnu Katsir sebagai Muhaddits
Muhaqqiq. Di samping itu, menurut keterangan H. Lewia yang diperkuat
al-Dawdi, pada tahun 756 H, Ibnu Katsir menjabat pimpinan sementara dari Dâr
al-Hadîts al-Asyrâfiyyah, menyusul wafatnya al-Qâdhi Taqi al-Dîn al-Subki,
yang selanjutnya pada bulan Sya’bân tahun 766 H atau April/Mei 1365 M, Ibnu
Katsir ditunjuk untuk mengorganisir pengkajian
kitab Shahih al-Bukhâri.[1]
Berdasarkan prestasi-prestasi
dalam bidang hadis tersebut di atas, tidak mengherankan, apabila para ahli
hadis menyematkan gelar al-Hâfizh di depan nama Ibnu Katsir. Akan tetapi, al-Hâfizh ibn Hajar al-‘Asqalâni
dalam al-Durar al-Kâminah, memberikan penilaian yang tidak
menggembirakan berkaitan dengan kompetensi Ibnu Katsir dalam hadis. Menurut
Ibnu Hajar, kompetensi Ibnu Katsir dalam hadis tidak selaras dengan tradisi
ahli hadis yang mengadakan pemilahan antara sanad ‘ali dan sanad nâzil,
sehingga Ibnu Katsir lebih pantas dimasukan dalam klasifikasi Muhadditsi
al-Fuqahâ, bukan al-Hâfizh sebagaimana disebut di atas. Penilaian
Ibnu Hajar yang kurang menyenangkan ini mendapat bantahan dari para ulama
lain. al-Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyûthi
mengomentari penilain Ibnu Hajar ini dengan menyatakan bahwa pegangan pokok
ilmu hadis adalah penguasaan terhadap penentuan shahih atau tidaknya hadis,
cacat atau tidaknya hadis, sanad-sanad periwayatan hadis dan adil tidaknya
perawi hadis. Adapun masalah penguasaan terhadap sanad ‘ali dan nâzil,
serta yang semacamnya, hanyalah sebagai komplemen dan sampingan saja, bukan suatu hal yang
pokok. Bantahan al-Suyûthi ini dibenarkan oleh A.M. Syakir. [2]
Bantahan lebih keras datang dari al-Kautsari. Ia berpendapat, Ibnu Katsir
betul-betul telah memberikan perhatian begitu besar terhadap penghafalan
matan-matan hadis dan seluk beluknya, sehingga tidak membawa kepada suatu
keadaan di mana Ibnu Katsir tidak mampu memilah antara sanad ‘ali dan nâzil
seperti yang dituduhkan tersebut, karena
Ibnu Katsir begitu besar
menguasai masalah thabaqât para perawi hadis. Bahkan Ulama yang tingkat penguasaannya
terhadap thabaqât berada di bawah derajat Ibnu Katsir saja dapat
dipastikan menguasai masalah ‘ali dan nazil, apalagi Ibnu Katsir
yang kemampuannya lebih tinggi dari ulama tersebut, tentu saja akan memahami
betul sanad ‘ali dan nazil. Dalam kaitan ini, al-Kautsari tidak
dapat menyembunyikan kecurigaannya kepada Ibnu Hajar, dengan menyatakan: [3]
وفى تراجم من شهروا
بالبراعة تبدوكوا من ابن حجر سامحه الله
Sebagai bukti penguat bahwa Ibnu
Katsir menguasai studi hadis, berikut ini akan diketengahkan beberapa karya
penting yang ditinggalkannya, :
1.
al-Takmîl
fî Ma’rifah al-Tsiqât wa al-Dhu’afâ wa al-Majâhil.
Kitab yang terdiri dari 5 jilid ini, merupakan perpaduan antara kitab Tahdzîb
al-Kamâl karya al-Mizzi dan Mizân al-I’itidâl karya al-Dzahabi
dengan berbagai tambahan;
2.
al-Hâdi wa
al-Sunan fî Ahâdits al-Masânid wa Sunan, yang
lebih dikenal dengan Jâmi al-Masânid wa al-Sunan al-Hâdi li Aqwâm al-Sunan.
Kitab ini memuat hadis-hadis yang dikumpulkan dari kitab-kitab hadis al-Ushûl
al-Sittah, kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal, al-Bazzâr, Abû Ya’la dan al-Mu’jam
al-Kabîr. Kitab ini disusun berdasarkan tertib huruf mu’jam dalam kaitannya
dengan penyebutan nama masing-masing sahabat;
3.
Ikhtishâr
‘Ulûm al-Hadîts. Kitab ini merupakan ringkasan dari
kitab Muqaddimah karya Ibnu al-Shalah dalam bidang musthalah hadis.
Kitab ini telah diterbitkan beberapa kali, antara lain lewat suntingan A.R.
Hamzah, seorang ulama terkemuka di Mekkah dan dua kali disyarahkan oleh Ahmad
Muhammad Syakir;
4.
Musnad
al-Syaikhain (Abî Bakr wa ‘Umar);
5.
Ikhtishâr
Kitâb al-Madkhal ilâ Kitâb alSunan li al-Bayhaqi;
6.
Takhrîj
al-Ahâdits Adillah al-Tanbîh. Kitab ini merupakan
takhrij terhadap hadis-hadis yang digunakan sebagai dalil oleh al-Syairazi
dalam kitab fikihnya, al-Tanbîh;
7.
Takhrîj Ahâdits
Mukhtashar ibn Hâjib. Kitab ini merupakan takhrij
terhadap hadis-hadis yang dibawakan Ibnu al-Hâjib dalam kitab usul fikihnya, al-Mukhtashar;
8.
Syarh
Shahîh al-Bukhâri. Kitab ini walaupun tidak sempat
dirampungkan, tetapi dalam berbagai kesempatan, kitab ini berulangkali
dijadikan sebagai rujukan.[4]
Di
samping kecemerlangan reputasi Ibnu Katsir dalam studi hadis sebagaimana
dipaparkan di atas, juga ia memiliki perhatian besar terhadap studi sejarah,
sehingga ia dipandang sebagai ilmuwan sejarah yang disegani. Sebagai bukti
kehandalannya dalam studi sejarah
adalah karya monumentalnya yang terkenal di bidang sejarah, al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Kitab yang terdiri dari 14 jilid ini
memaparkan pelbagai peristiwa sejak awal penciptaan alam dan berakhir dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Kemudian, enam tahun sebelum
meninggal, Ibnu Katsir masih sempat menghasilkan dua karya sejarah lainnya,
yaitu: al-Sîrah al-Nabawiyah, yang terinci, dan al-Sîrah al-Nabawiyah,
yang ringkas. Akan tetapi harus diakui bahwa popularitas kedua kitab ini jauh
di bawah kitab, al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Popularitas kitab, al-Bidâyah
wa al-Nihâyah ini, menurut H. Laoust, dibuktikan dengan banyaknya
karya-karya sejarah sesudahnya yang menjadikan kitab al-Bidâyah wa
al-Nihâyah sebagai rujukan utama, seperti tampak pada Ibn Hajji (w.816 H),
Ibn Qâdhi Syuhbah (w. 851 H), Ibn Hajar
al-‘Asqalâni (w. 852 H) dan al-‘Ayni (w. 855 H).
Dalam kaitan dengan bidang fikih,
harus diakui bahwa tidak terlihat karya-karya besar Ibnu Katsir yang
dipublikasikan secara luas. Memang benar bahwa Ibnu Katsir merencanakan
penulisan sebuah kitab fikih (Kitâb al-Ahkâm) yang didasarkan pada
Alqur’an dan hadis, namun karya besar itu baru selesai sampai bab haji. Dalam
kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, ia menyebut sebuah karyanya yang
merupakan komentar terhadap kitab al-Tanbîh karya al-Sayirazi.
Selanjutnya masih ada satu kitab lagi tentang jihad yang berjudul al-Ijtihâd
fî Thalab al-Jihâd, seperti yang sudah dilansir sebelum ini. Kendati pun
karya-karya Ibnu Katsir dalam bidang fikih tidak secemerlang karya-karyanya di bidang studi hadis dan
sejarah, tetapi dalam kenyataannya,
tidak menghalangi para ulama untuk mencantumkan gelar al-Faqîh di
depan nama Ibnu Katsir, karena kupasan-kupasan fiqhiyyah Ibnu Katsir, baik
dalam kitab tafsir, hadis maupun fatwa-fatwanya membuktikan kelayakannya untuk
mendapat gelar tersebut.[5]
Kemudian reputasi ilmiah
Ibnu Katsir dalam bidang studi Alqur’an tidak diragukan lagi kompetensinya. Ia
memiliki kemampuan tinggi dalam studi qira’at dan tafsir. Dengan kompetensi
yang tinggi di bidang qiraat inilah,
al-Dawdi memposisikan dalam Thabaqât-nya pada deretan tokoh-tokoh ahli
ilmu qira’at. Demikian pula Ibn Jazari dalam al-Nasyr yang disunting
oleh al-Syeikh al-Dhabba’, seorang tokoh qira’at terkemuka abad ke 20 di Mesir,
menyebut Ibnu Katsir sebagai al-muqri’.
Semantara itu, dalam bidang tafsir yang merupakan pokok bahasan dalam
tulisan ini dapat dikemukakan bahwa Ibnu Katsir sesudah melalui proses belajar
yang intens dan menghabiskan waktu yang cukup lama, pada hari Rabu, tanggal 28
Sywal tahun 767 H, akhirnya mendapat
anugrah kehormatan dari Amîr Mankaliy
Bugha untuk memulai tugas sebagai guru
besar tafsir di al-Jami’ al-Umawi (the Umayed Mosque) pada tahun 767 H. Kendatipun
peristiwa ini sangat penting dalam melacak reputasi Ibnu Katsir dalam bidang
tafsir, namun tidak dapat diingkari bahwa peranan karya tulis Ibnu Katsir jauh
lebih representatif untuk menggambarkan reputasinya sebagai seorang ahli
tafsir, sebagaimana nanti akan dikupas pada bab berikutnya. [6]
Berdasarkan prestasi-prestasi ilmiah yang telah diraih secara gemilang
oleh Ibnu Katsir di atas, maka tidak mengherankan apabila pada masanya, Ibnu
Katsir telah mampu tampil sebagai ulama
terkemuka yang dipercaya oleh pemerintah untuk memberikan fatwa-fatwanya yang
sangat mereka harapkan.
Di antara sikap keilmuan
yang sangat cemerlang pada diri Ibnu Katsir, sebagaimana dipaparkan oleh A.M.
Syakir, adalah sikapnya yang moderat, siap untuk berfikir bebas dalam kerangka
pemikiran yang argumentatip dan tidak fanatik terhadap madzhab yang dianutnya.
Sikap moderat Ibnu Katsir ini, kemungkinan berkaitan erat dengan
pengalaman-pengalaman yang luas dalam berguru, berdiskusi dan bergaul dengan semua lapisan masyarakat
dan ilmuwan, sehingga memberikan cakrawala pemikiran dan pengetahuan yang luas
pula. Sikap moderat dan toleransi Ibnu Katsir tidak hanya terbatas pada sesama
pemeluk agama Islam, tetapi juga melebar, menjangkau pemeluk agama lain. Dalam
kitabnya al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir menceritakan bagaimana ia
harus berbicara lantang di hadapan
aparat pemerintah Syria berkaitan
dengan instruksi Sultan di Mesir untuk melakukan pemungutan seperempat bagian
dari harta orang Nashrani, guna membiayai pertempuran melawan bangsa-bangsa
Barat yang telah menggempur kota Alexandria pada tanggal 22 Muharram 767 H yang
menimbulkan korban jiwa dan harta yang
besar.
Walaupun serbuan bangsa
Barat yang tidak beradab dan tidak berprikemanusiaan ini benar-benar
menyakitkan hati Ibnu Katsir dan semua umat Islam, tetapi tidak dapat dijadikan
alasan pembenar untuk memperlakukan orang-orang Nashrani dengan sewenang-wenang, melalui penarikan
uang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, ketika Ibnu
Katsir dipanggil untuk menghadap pemerintah tertinggi Syria pada tanggal 16
Shafar 767 H, dengan lantang ia menyatakan, perintah Sultan itu tidak dapat
dijadikan pegangan dalam memperlakukan orang-orang Nashrani. Selanjutnya
ketika, pemerintah tertinggi Syria berkilah bahwa instruksi Sultan itu telah
difatwakan oleh sebagian fuqâha Mesir, Ibnu Katsir menyanggah dengan ucapan :
هذا مما لا يسوغ
شرعا, ولا يجوز لأحد أن يفتي بهذا. ومتى كانوا باقين على الذمة, يؤدون إلينا
الجزية ... لا يجوز أن يؤخذ منهم الدرهم الواحد الفرد فوق ما يبذلونه من الجزية,
ومثل هذا لا يخفى على الأمير.
Kendatipun
pada akhirnya Ibnu Katsir penuh kecewa,
karena menyaksikan realisasi dari instruksi Sultan di Mesir tersebut, namun
sikap tegar Ibnu Katsir ini pasti memiliki dampak tersendiri bagi kebijakan
pemerintah dalam menghadapi pemeluk agama non-muslim. Mengingat
obyektivitas tinggi yang diperlihatkan
Ibnu Katsir ini, maka tidak mengherankan apabila ia menjadi tumpuan para
pemeluk Nashrani, sehingga tidak jarang tokoh-tokoh Gereja datang kepadanya
untuk meminta saran dan pendapatnya, bahkan dalam masalah-masalah kegerejaan
yang bersifat khusus.[7]
Dengan memahami obyektifitas
keilmuan Ibnu Katsir ini, dengan mudah dapat diyakini keterangan para penulis
biografi yang menyatakan bahwa Ibnu Katsir dan karya-karyanya telah dikenal
secara luas, baik ketika masih hidup, maupun setelah meninggal, sehingga tidak
mengherankan apabila berduyun-duyun para peminat ilmu dari berbagai negara
Islam berdatangan ke Damaskus untuk menimba ilmu dari tokoh besar ini. Para
murid yang belajar kepada Ibnu Katsir jumlahnya cukup besar, namun dalam
tulisan ini hanya mengetengahkan beberapa murid saja yang dipandang sudah
dikenal di kalangan peminat studi keislaman, yaitu antara lain:
1.
Badr al-Dîn
al-Zarkasyi (w. 794 H), penulis kitab al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân;
2.
Muhammad
ibn Jazari (w. 833 H), penulis kitab al-Nasyr fî al-Qira’ât al-‘Asyr,
sebuah kitab stndar dalam ilmu qira’at;
3.
al-Hâfizz
Abû al-Mahâsin al-Husayni, penulis kitab Dzayl Tadzkirah al-Huffâzh,
sebuh kitab penting dalam ilmu rijâl al-hadîts;
4.
Syihâb al-Dîn
ibn Hijji (w. 816 H), penulis penting dalam bidang sejarah.
Setelah menjalani liku-liku
kehidupan dengan penuh vitalitas, berjuang dalam pengabdian untuk ilmu dan
agama, Ibnu Katsir menghabiskan sisa-sisa akhir hidupnya dalam keadaan buta, dan akhirnya pada hari
Kamis, 26 Sya’ban, 774 H bertepatan dengan bulan Februari 1373 M, Ibnu Katsir
menutup mata selama-lamanya. Sesuai
dengan wasiat yang ditulisnya, jenazah Almarhum dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh al-Islâm
ibn Taymiyyah di kompleks pemakaman
Shufiyyah di luar kota Damaskus; Seorang tokoh ilmuwan Islam telah tiada.
Dunia Islam pun telah kehilangan seorang putra terbaiknya. Oleh karena itu,
tidak dipandang berlebihan, apabila sikap yang ditunjukkan murid-muridnya yang
meratapi kematian gurunya dengan melantunkan bait-bait sya’ir, diantaranya berikut ini: [8]
لفقدك
طلاب العلوم تأسفوا * وجادوا بدمع لا يبيد غزير
ولو
مزجوا ماء المدامع بالدما * لكان قليلا فيك يا ابن كثير
[1] B.
Lewis dkk (ed.), The Encyclopaedia of Islam, I, h. 818; bandingkan
dengan al-Husayni, Dzayl Tadzkirah, h. 58, periksa oula Ibnu
Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, XIV, h. 312, dan Husayin al-Dzahabi, al-Tafsîr
wa al-Mufassirûn, I, h. 242
[2] Jalâl
al-Dîn al-Suyuti, Dzayl Thabaqât al-Huffâdh li al-Dzahabi, (Beirut: Dâr
Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, t.t), h. 362; dan A.M. Syakir, ’Umdah
al-Tafsîr ‘an al-Hâfidh ibn Katsîr, I,
h. 27
[3] Lihat Catatan kaki al-Kautsari pada al-Husayni, Dzayl Tadzkirah
al-Huffâdh, h. 58
[4]
Lihat, A.M. Syakir, al-Bâ’ts al-Hatsîts Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts li
al-Hâfidh ibn Katsîr, h.17, al-Kattâni, al-Risâlah al-Mustathrafah,
(Karachi: Nur Muhammad, 1960 M), h.
143-144, dan lihat pula, A.M. Syakir, ‘Umdah
al-Tafsîr ‘an al-Hâfidh ibn Katsîr,
I, h. 27, 34 – 36.
[5] A.M.
Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr ‘an al-Hâfidh ibn Katsîr, h. 34-35. Kitab al-Sîrah
al-Nabawiyyah telah ditunjuk kedua versinya, ketika menafsirkan surat
al-Ahzâb ayat 26. Periksa, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Adhim, III,
h. 479; B. Lewis dkk (ed.), The Encyclopaedia of Islam, I, h. 818. Gelar faqîh al-mutqin yang diberikan al-Dzahabi dalam Mu’jam al-Mukhtashsh,
sebagimana dikutip oleh al-Husayni dalam, Dzayl Tadzkirah al-Huffâzh,
h. 58.
[6] A.M.
Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr ‘an al-Hâfizh ibn Katsîr, I, h. 24.
Mengenai gelar al-Syeikh ‘Umûm
al-Maqâri bi al-Diyâr al-Mishriyyah dapat dilihat dalam , Ibn Jazari,
al-Nasyr fî Qirâ’ât al-‘Ashr, I, h. 5. Periksa pula pada, Ibnu Katsîr, al-Bidâyah
wa al-Nihâyah, XIV, h. 321, bandingkan dengan B. Lewis dkk (ed.), The Encyclopaedia of
Islam, I, h. 818.
[7] A.M.
Syakir, ‘Umdah al-Tafsîr ‘an al-Hâfidh ibn Katsîr, I, h. 28-33; Ibnu
Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, XIV, h. 314-315.
[8] Lihat
pengantar M.A. Fadl Ibrahim dalam kitab al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm
al-Qur’ân, I, (Kairo: ‘Isa al-Babi
al-Halabi, 1972 M), h. 6; al-Dhabba’
dalam pengantar kitab, Ibn al-Jazari, al-Nasyr fî al-Qirâ’at al-‘Asyr ,
I, h. V; A.M. Syakir, ‘Umdah
al-Tafsîr ‘an al-Hâfidh ibn Katsîr, I, h. 26 dan 34; B. Lewis, The Ecyclopaedia of Islam,
I, h. 817; dan Ibnu Taghri Bardi, al-Nuzum al-Zâhirah fî Mulûk Mishr wa
al-Qâhirah, XI, h. 123
Comments
Post a Comment